Erick Thohir Bantah Ambil Untung dari Aturan Wajib PCR
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir membantah mengambil untung dari kebijakan wajib tes polymerase chain reaction (PCR) beberapa waktu lalu. Ia menegaskan kewajiban tes PCR di era pandemi covid-19 adalah hasil keputusan bersama lintas kementerian melalui rapat terbatas (ratas).
Erick menjelaskan setiap regulasi terkait penanganan covid-19 selalu didahului perumusan lewat ratas mingguan yang diikuti lintas kementerian.
"Apalagi dalam mengambil kebijakan terkait penanganan covid-19 ini bukan ditentukan oleh Kementerian BUMN, atau kementerian sendiri-sendiri," kata Erick saat memberikan pidato kunci dalam webinar bertajuk 'Penanganan Pandemi Covid-19: Kontroversi Tes PCR - Bisnis atau Krisis' yang diselenggarakan secara daring oleh Majelis Besar UII, Kamis (18/11).
Mantan Bos Inter Milan ini pun mencontohkan kebijakan syarat wajib PCR bagi pengguna layanan transportasi. Menurutnya, regulasi itu tercipta sebagai hasil ratas yang diikuti Presiden, Wakil Presiden, Koordinator PPKM Jawa-Bali, Menteri Kesehatan dan jajaran Kabinet Indonesia Maju lainnya.
"Dan kebijakan itu secara transparan. Dan saya tidak mungkin mengatur jalannya rapat terbatas agar mendapat kebijakan yang menguntungkan pribadi saya," klaim Erick.
Erick menyebut pemerintah sejak awal masa pandemi covid-19 telah berupaya semaksimal mungkin melayani masyarakat Indonesia dengan kerja kemanusiaan dengan prinsip recovery dan responsibility.
"Recovery yang dimaksud, akan melakukan segala upaya percepatan untuk penyelamatan jiwa manusia. Tetapi tetap responsibility, adalah melakukan seluruh kegiatan kemanusiaan tersebut dengan penuh tanggungjawab. Baik secara administrasi, hukum, dan jauh dari kepentingan pribadi," paparnya.
Dikatakan Erick, kebijakan wajib PCR merupakan bagian dari serangkaian upaya tanpa henti pemerintah mengantisipasi penyebaran virus covid-19 lewat berbagai pintu yang ada. Termasuk, momen libur Natal dan Tahun Baru 2022 yang sudah di depan mata.
Kebijakan itu disinergikan dengan regulasi-regulasi lain. Macam pelonggaran aktivitas disertai pengendalian lapangan; peningkatan laju capaian vaksinasi, termasuk eksekusinya untuk kelompok usia anak; penertiban mobilitas pelaku perjalanan luar negeri; memperkuat peran Pemda dalam pengawasan kegiatan; dan menjaga kedisiplinan prokes di tingkat masyarakat.
"Kembali pada kebijakan PCR sekali lagi merupakan bagian dari serangkaian upaya tanpa henti pemerintah yang diputuskan bersama-sama untuk perang melawan covid yang belum selesai," sambung Erick menegaskan.
Erick menekankan, tes PCR diperlukan untuk kebutuhan pelacakan dan penelusuran kasus covid-19. Tarifnya pun, kata dia, sekarang sudah bisa ditekan dari yang awalnya Rp2 juta sampai Rp5 juta, kini menjadi Rp300 ribu.
"Kalau dibandingkan banyak negara kita masih masuk kategori yang termurah. Dan ini sesuai dengan audit BPKP. BPKP yang sudah mendampingi, bukan berarti penentuan harga yang ditentukan oleh sendiri. Dan ini juga ditetapkan oleh Kemenkes sesuai dengan tupoksi. Jadi bukan ditentukan oleh sendiri," tegasnya.
Nama Erick Thohir sendiri santer dikaitkan dengan dugaan keterlibatan bisnis PCR seperti diungkap oleh Direktur YLBHI Agustinus Edy Kristianto. Selain Erick, nama lain yang diseret dalam dugaan kasus ini adalah Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Keterlibatan Luhut diketahui lewat PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtera, anak PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA).
Sementara dugaan keterlibatan Erick terkait dengan Yayasan Adaro Bangun Negeri yang berkaitan dengan PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Perusahaan itu dipimpin oleh saudara Erick, yaitu Boy Thohir.
Saat ini,Luhut dan Erick dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait dugaan pelanggaran tindak pidana kolusi dan nepotisme, yakni Pasal 5 angka 4 Jo Pasal 21 dan Pasal 22 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Komentar
Posting Komentar