Nasib 'Kota Hantu' Malaysia yang Bikin Xi Jinping Pening - CNBC Indonesia

 

Nasib 'Kota Hantu' Malaysia yang Bikin Xi Jinping Pening

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
News
Kamis, 14/09/2023 14:10 WIB
Foto: REUTERS/EDGAR SU

Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek properti China di luar negeri tengah dirundung kekhawatiran karena saat ini industri properti Negeri Tirai Bambu berada dalam tekanan keuangan yang besar.

Salah satunya adalah Forest City di Johor Bahru, Malaysia. Kompleks apartemen yang dibuat oleh raksasa properti Country Garden itu bertujuan untuk menampung 700.000 orang di lahan seluas 7.000 hektar di empat pulau reklamasi yang akan selesai dibangun pada tahun 2035.

Tujuh tahun berlalu, Country Garden telah menginvestasikan 20 miliar ringgit atau sekitar Rp 65,5 triliun. Namun angka ini jauh lebih rendah dari rencana US$ 100 miliar (Rp 1.500 triliun) yang direncanakan.

Saat ini, dengan pembangunan yang masih berlangsung. Sejauh ini, kota ini menampung kurang dari 10.000 orang atau sekitar 1% dari targetnya.

Namun sekarang proyek tersebut mengalami ancaman besar. Forest City telah menjadi simbol dari risiko yang dihadapi oleh Country Garden dan beberapa perusahaan sejenis di China dengan booming pembangunan yang dipicu oleh utang, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di pasar luar negeri.

"Ketika negara ini berjuang dengan lemahnya arus kas dan hambatan pembayaran kewajiban, prospek Country Garden untuk mengerahkan modal tambahan ke proyek tersebut kini terlihat semakin menantang," kata para analis kepada Reuters, Kamis (14/9/2023).

Akhir bulan lalu, Forest City mengatakan proyek tersebut berjalan sesuai rencana meskipun ada masalah terkait dengan "lanskap dan campur tangan politik, stabilitas ekonomi, dan kebijakan pemerintah".

"Perusahaan juga selalu siap untuk meninjau dan mengevaluasi kembali rencana pengembangan Forest City setelah tahun 2025 jika saat ini diperlukan," katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai rencana mereka atau pentingnya tanggal peninjauan pada tahun 2025.

Sepi Penghuni

Forest City mengatakan sekitar 55.000 orang mengunjungi galeri penjualannya setiap bulan dan dua hotel dengan gabungan 600 kamar, termasuk resor golf bintang lima. Namun Reuters menemukan fakta yang bertolak belakang terkait hal ini.

Dalam penelusuran, nampak jalan kosong yang ditumbuhi pohon palem menuju ke sebuah mal di mana banyak ruang karaoke dan museum sarang burung yang sepi. Selain itu, ada toko obat herbal yang nampak tutup.

Mal berlantai empat itu hanya memiliki sekitar selusin toko yang buka, dengan jumlah petugas kebersihan melebihi jumlah pembeli. Salah satu hotel sebagian besar kosong dan bar atap yang berada di atasnya tetap ditutup meskipun pemiliknya mengatakan kepada Reuters pada bulan Februari bahwa hotel tersebut akan dibuka pada bulan Maret.

Sementara itu, di sisi lain, kesepian lokasi itu juga dilaporkan media Prancis, France24. Menurut laporan yang sama, para pekerja konstruksi hanya bekerja pada siang hari. Memasuki malam hari, jalan tol empat jalur yang sepi hanya diisi oleh ketenangan mencekam.

Selain itu, kota yang terletak di seberang kota Singapura ini hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil, padahal proyek ini memiliki lebih dari 20 menara tinggi.

Di bawah menara-menara tersebut, terdapat sederet toko yang tutup. Beberapa pintu toko bahkan ditempel oleh dokumen pengadilan yang menuntut pembayaran tertunggak. Di dalam toko, banyak sampah berserakan di lantai.

"Semua orang datang ke sini untuk minuman keras," kata guru berbasis Singapura, Denish Raj Ravindaran.

"Aku tidak akan tinggal di sini (Forest City), ini adalah kota hantu. Jalan gelap dan berbahaya serta tidak ada lampu jalan," lanjutnya.

Xi Jinping Pening

Kondisi Country Garden sendiri merupakan salah satu wajah persoalan pengembang properti China. Industri real estat China terguncang ketika peraturan baru untuk mengontrol jumlah uang yang dapat dipinjam oleh perusahaan real estat besar diberlakukan pada tahun 2020.

Evergrande, yang pernah menjadi pengembang terlaris di China , memiliki utang lebih dari US$300 miliar seiring dengan ekspansi agresifnya menjadi salah satu perusahaan terbesar di Negeri Panda.

Masalah finansial telah melanda industri properti di negara tersebut, dengan serangkaian pengembang lain yang gagal membayar utangnya dan meninggalkan proyek bangunan yang belum selesai di seluruh negeri.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya