Tak Menetes ke UMKM, ke Mana Larinya Dana Kampanye Ratusan Miliar?
Lidya Julita Sembiring | CNN Indonesia
Rabu, 17 Jan 2024 07:26 WIB
Tahun politik kali ini sungguh berbeda dengan Pemilu lima maupun 10 tahun sebelumnya bagi UMKM. Pengusaha konveksi yang biasanya dapat pesanan membludak, kini harus gigit jari.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mengakui pesta demokrasi yang berjalan sebentar lagi tersebut tak 'menetes' ke pelaku usaha kecil. Bahkan dari data yang dimiliki, omzet UMKM konveksi anjlok hingga 90 persen dibandingkan Pemilu 2019.
"Terdapat penurunan penjualan produk untuk kampanye cukup drastis sekitar 40-90 persen," ujar Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM Yulius dalam konferensi pers, Senin (8/1) pekan lalu.
Penurunan pendapatan itu diketahui dari observasi lapangan ke beberapa pelaku UMKM di area Pasar Jaya Tanah Abang dan Pasar Jaya Senen di DKI Jakarta. Pihaknya juga melakukan wawancara pada 15 orang pelaku UMKM.
Padahal, dana kampanye partai politik (parpol) mencapai ratusan miliar. Pada Pemilu 2024 ini, ada 18 parpol yang berlaga memperebutkan suara.
PDIP, misalnya, tercatat sebagai parpol yang penerimaan dan pengeluaran dananya paling besar. Dalam laporan awal dana kampanye (LADK) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), total penerimaan PDIP yang dilaporkan Rp183 miliar, dan total pengeluarannya Rp115 miliar.
Sementara itu, Partai Bulan Bintang (PBB) tercatat sebagai parpol dengan penerimaan terkecil, yakni Rp301 juta dan total pengeluaran Rp228 juta.
KPU juga merilis laporan dana kampanye pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Pemilu 2024.
Untuk periode 16-26 November 2023, dana awal kampanye pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tercatat paling besar, Rp31,4 miliar. Lalu, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD Rp23,3 mliar dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar Rp1 miliar.
Lalu, ke mana larinya duit kampanye ratusan miliar itu, yang bahkan tidak menetes ke UMKM?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan euforia kampanye 2019 lalu dengan saat ini memang sangat terlihat berbeda.
Bila sebelum pandemi lalu banyak terlihat keriuhan di lapangan saat masa kampanye, saat ini lebih 'sunyi' sehingga memberikan dampak tak menyenangkan bagi pelaku usaha konveksi.
Menurutnya, penyebabnya tak lain adalah kampanye yang dilakukan peserta pemilu fokus ke media online. Di mana, para elit politik lebih memilih mengalokasikan dananya untuk para buzzer atau influencer.
Sebetulnya, ia melihat bahwa perubahan era kampanye ini tidak hanya berdampak pada UMKM konveksi. Tapi juga iklan kepada media cetak maupun televisi yang sebelumnya ramai dilakukan.
"Dana kampanye banyak terserap ke alat peraga digital di platform-platform media sosial, terutama TikTok dan Instagram. Penyalurannya nampaknya melalui influencer-influencer dan iklan langsung partai dan caleg," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Page 2
ANALISIS
Lidya Julita Sembiring | CNN Indonesia
Rabu, 17 Jan 2024 07:26 WIB
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan saat ini konsep kampanye yang di tempat besar, dengan panggung hiburan yang meriah, serta dihadiri oleh simpatisan peserta pemilu sudah tak lagi terlihat.
Padahal, konsep lama tersebut yang paling menguntungkan UMKM konveksi karena banjir orderan. Saat ini, model kampanye disesuaikan dengan perubahan zaman.
"Artinya meskipun konsep kampanye terbuka di lapangan besar dengan menggunakan artis misalnya, itu masih dilakukan tetapi kampanye dengan pola dialog dengan masyarakat langsung dan ikut terlibat atau hadir di tengah-tengah masyarakat itu relatif lebih banyak dilakukan oleh paslon capres dan cawapres," jelasnya.
Rendy mengatakan bila dulu kampanye dilakukan hanya melalui Facebook ataupun Twitter. Namun sekarang platformnya bertambah ada TikTok yang dinilai lebih besar pengaruhnya kepada masyarakat.
"Kalau kita bicara dampak ke UMKM menjadi tidak sama lagi jika dibandingkan dengan kondisi 5 atau 10 tahun lalu. Saya tidak punya angka resminya tetapi dugaan saya memang kontribusinya lebih kecil karena pola kampanye dengan menggunakan simpatisan dan membagi-bagikan kaos misalnya, itu relatif sudah ditinggalkan," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan ada faktor lain yang menyebabkan pesanan ke UMKM konveksi berkurang. Salah satunya pesanan kaos saat ini dikerjakan oleh pelaku usaha yang memiliki koneksi dengan partai politik.
"Ada kecenderungan percetakan baliho dan alat peraga kampanye dikelola perusahaan yang terafiliasi timses dan partai. Mobilisasi massa pemilu tahun ini juga lebih rendah, yang artinya percetakan kaos turun tajam," jelas Bhima.
Selain itu, ia melihat bahkan ada capres yang relawannya cetak kaos sendiri. Sehingga pesanannya tidak dalam jumlah banyak seperti tahun politik yang lalu.
Bhima juga melihat perubahan kampanye ke digital memang sudah terlihat nyata. Hal ini tercermin dari berbagai konten politik yang bertebaran di media sosial.
"Ini karena pemilih juga bergeser ke populasi Gen Z atau pemilih pemula dan usia muda, sehingga kampanye digital bisa menjangkau kalangan muda dengan harga lebih murah dibanding cetak baliho," tuturnya.
Menurut Bhima, dampak dari perubahan pola kampanye ini tidak hanya membuat omzet UMKM konveksi turun. Efek lainnya pelaku UMKM mungkin akan berubah menjual produk lain yang tidak ada kaitan dengan pemilu atau bahkan gulung tikar.
"Apalagi yang sebelumnya sudah pasang target tinggi, tapi fakta nya saat pemilu sepi, itu bisa PHK kurangi karyawan. Atau sudah terlanjur pinjam uang, bisa berakhir kredit macet," jelasnya.
Oleh sebab itu, ia menilai solusi yang bisa dilakukan atas masalah ini adalah pelaku UMKM konveksi harus menyadari kalau terjadi perubahan konsep kampanye, sehingga harus ikut merubah strategi, terutama penyedian stok.
"Jangan terlalu berharap pada kampanye cetak fisik. Apalagi periode kampanye akbar berikutnya kan pemilu kepala daerah serentak pada November 2024. Jadi jangan terlalu agresif mengajukan kredit atau stok barang di gudang," pungkas Bhima.
(pta)
Komentar
Posting Komentar