Jejak Kampung Ambon: Warung Narkoba Kini Kampung Antinarkotika
Saleh (33), bukan nama sebenarnya, bersama kawan-kawannya hampir setiap minggu bolak-balik ke Kampung Ambon, Jakarta Barat, pada medio 2011 lalu.
Ia datang saat malam jelang dini hari. Menurutnya, kawasan Kampung Ambon seperti perumahan pada umumnya. Rumah-rumah warga saling berhadapan di pisahkan jalan utama.
Saleh dan kawan-kawan menjajal beberapa rumah untuk mengonsumsi narkoba jenis sabu. Saat itu ia selalu memakai barang tersebut di tempat alias 'dine in'.
Menurut Saleh, di dalam rumah tersebut terdapat seorang kasir. Setiap pembeli harus menuju meja kasir terlebih dahulu, sebelum mendapat paket sabu yang diinginkan beserta alat isapnya.
Setelah mendapat paket dan bong, pembeli tinggal memilih ruangan yang telah disediakan. Ruangannya berukuran sekitar 2x3 disekat dengan papan kayu.
Saleh tak pernah khawatir akan digerebek. Menurutnya, setiap malam selalu ada mobil patroli di depan kompleks perumahan itu. Namun, tak pernah ada penggerebekan.
Sampai akhirnya Saleh dan kawan-kawannya memiliki langganan di Kampung Ambon. Langganannya ini bukan orang biasa, melainkan seorang Ketua Rukun Tetangga (RT).
Selain sabu, ganja juga dijual di sana. Sekitar tahun 1999-an, ganja mulai masuk ke Kampung Ambon. Obat-obatan terlarang itu menjadi komoditi utama para pengedar dan bandar.
Seiring waktu, sabu menarik perhatian para pasien atau Ps (sebutan pembeli narkoba di Kampung Ambon) dan mencapai puncak keemasannya pada 2009.
Kbo Sat Narkoba Polres Jakarta Barat AKP Amirul Aminin mengatakan saat itu orang bebas berdagang dan mengonsumsi narkoba. Terdapat lapak-lapak yang umumnya berupa rumah tipe 45.
Lapak itu adalah rumah sewaan bandar yang disekat menjadi 4 sampai 5 ruang. Selayaknya rumah makan, Ps dapat membeli dan mengkonsumsi sabu di tempat.
"Kalau dulu sebelum pembersihan, kalau dibilang lapak-lapak, sebenarnya ya, kalau kita ngeliat warteg hampir sama sih. Jadi ada satu rumah, mereka bisa beli di situ, makan di situ, selesai di situ keluar, ibarat kata kayak orang makan di warteg," kata Amirul kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Lihat Juga :
Setiap rumah jual sabu
Salah seorang warga setempat Andi, bukan nama sebenarnya, menyebut hampir setiap rumah di Kampung Ambon menjajakan sabu. Menurutnya, ada 30 lebih lapak yang aktif melayani pasien.
"Jadi di satu rumah besar ada 10 kamar. Jadi datang, daftar dulu mau pakai apa, berapa banyak, berapa orang. Lalu, diantar sama petugas ke kamar, ditimbang, dikasih sama petugas, disiapkan bong-nya," ucapnya.
Ia memperkirakan hasil uang dari bisnis gelap itu bisa mencapai miliaran setiap harinya. Pasar narkoba itu tidak memiliki musim seperti buah-buahan, pasokan barang selalu ada dan ramai pengunjung.
Bahkan, pemasukan parkir kendaraan para tamu mencapai jutaan. Satu unit motor dikenakan Rp10 ribu per jam, sedangkan mobil Rp20 ribu.
Selain mendapatkan uang dari para tamu, tukang parkir juga mendapatkan insentif bulanan dari para bandar.
"Tapi sebulan sekali atau dua minggu sekali, bagian keuangan dari bandar yang ada rumah lapak di sini datangin ke tetangga yang dibuat rusuh sedikit jalanannya. Dua minggu sekali mungkin dikasih Rp250 ribu atau Rp200 ribu," ujarnya.
Namun, kata dia, keberadaan sabu ini merugikan penghuni lain yang tidak terlibat. Mereka juga mendapat stigma negatif. Transaksi yang terlalu mencolok pun mengganggu kenyamanan beberapa warga.
"Jangankan orang cari kerja, kita aja ketika datang ke satu tempat, teman kita baru tahu kita orang komplek Ambon, dia bilang 'di komplek Ambon?' 'tinggal di komplek Ambon?' Iya. Emang kenapa? Jadi udah kelihatan bahwa stigma itu membuat kita jadi agak-agak seperti di pandang sebelah mata," katanya.
FOTO: Penggerebekan Pabrik Ekstasi Rumahan di Tangerang dan Semarang
Sosok 'malaikat' di Kampung Ambon
Warga lainnya yang tinggal di RW 07 menyebut bandar di sana bak malaikat. Di balik bisnis gelapnya, bandar adalah sosok yang dermawan. Hal ini lah yang terkadang membuat warga enggan untuk mengusik.
"Melihat orang sakit, dia [bandar] datang dan bantu pengobatan. Ada yang berduka, dia datang dan salam bantu buat penguburan. Dagangan lewat enggak laku, dipanggil dan dibagiin sama tetangga, dibayarin sama dia," katanya.
Hubungan kekerabatan yang erat di Kampung Ambon bukan semata-mata karena mereka berkumpul di satu tempat yang sama. Ada hubungan yang bersifat saling meramu dan membuat kuat antar warga. Mereka mayoritas berasal dari satu suku, yakni Ambon, dan secara keyakinan pun sama.
"Misalnya keluarga saya menikah dengan keluarga dari jalan apa, sehingga bisa jadi, kita jadi saling besanan, saling om tante. Jadi itu makin guyub," ujarnya.
Hubungan sosial yang ada di Kampung Ambon pernah menjadi topik penelitian oleh Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala. Dirinya melihat peredaran narkotika di satu komunitas memiliki banyak kepentingan, seperti ekonomi, keluarga, dan sosial.
Adrianus mengatakan dalam kasus Kampung Ambon ada keluarga yang sudah empat generasi melakukan peredaran obat-obatan terlarang.
"Di sana banyak yang berangkat nyeberang dari Maluku, beragama kristen. Itu kan mereka jadi orang-orang yang paling aktif di gereja. Kalau Natal, nyumbang sana, nyumbang sini, untuk kesehatan, bikin bantuan sosial, ya semua klepek-klepek gitu kan. Walaupun sebetulnya itu uangnya, uang narkotika semua," kata Adrianus.
Lihat Juga :
Menurutnya, peran sosial yang dilakukan oleh bandar telah dianggap menjadi bagian dari norma oleh warga. Meskipun Adrianus berpendapat hal tersebut tidak dapat diterima secara norma.
"Alhasil kemudian, walaupun dia tahu betul bahwa itu adalah uang yang sebetulnya uang haram, tapi karena diberikan oleh sesama komunitas, udah nggak lagi bisa ditolak dengan gampang," imbuhnya.
Namun, tentu saja situasi ini tidak dapat dilekatkan oleh satu kasus saja. Kondisi sosial yang ada di Kampung Ambon juga terjadi di wilayah lainnya, seperti di Kampung Bahari, Kampung Boncos, maupun Kampung Bali.
Komentar
Posting Komentar