Yusril: Jalan Konstitusional Capres yang Kalah Pilpres 2024 Adalah MK Bukan DPR
Jakarta, Beritasatu.com - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menanggapi isu hak angket DPR terhadap pemerintah atau KPU.
Menurut Yusril, jalan konstitusional bagi pasangan capres-cawapres yang kalah pada Pilpres 2024 adalah Mahkamah Konstitusi, bukan dengan mendorong hak angket DPR untuk menyelidiki pelaksanaan pemilu yang kewenangan sepenuhnya berada di tangan KPU.
"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini Pilpres 2024, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak karena UUD 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujarnya kepada wartawan, Kamis (22/2/2024).
Yusril menerangkan, keberadaan hak angket memang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Ketentuan mengenai hak angket dalam pasal tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR dalam melakukan pengawasan yang tidak spesifik, tetapi bersifat umum dalam hal pengawasan terhadap hal apa saja yang menjadi obyek pengawasan DPR.
Ketentuan lebih lanjut tentang hak angket dituangkan dalam undang-undang, yakni undang-undang yang mengatur DPR, MPR, dan DPD.
Sementara itu, kata Yusril, Pasal 24C UUD 1945 dengan jelas menyatakan salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Dikatakan juga, para perumus amandemen UUD 1945 sepertinya telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui badan peradilan Mahkamah Konstitusi.
Hal ini dimaksudkan agar perselisihan hasil pemilu itu segera berakhir dan tidak menimbulkan kevakuman kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.
"Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan. Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," terang Yusril.
Menurut Yusril, putusan MK dalam mengadili sengketa pilpres akan menciptakan kepastian hukum. Sementara itu, penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian, yang potensial berujung kepada chaos yang harus dihindari.
"Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," tutur Yusril.
Selain itu, kata Yusril, pernyataan pendapat itu harus diputus MK. Kalau MK setuju dengan DPR, maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR, tergantung MPR mau apa tidak.
"Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir. Kalau 20 Oktober 2024 itu presiden baru belum dilantik, maka negara ini berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan. Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira negara harus diselamatkan," pungkas Yusril.
Komentar
Posting Komentar