Banjir Demak-Kudus, Sikap Pasif Pemerintah dan Momok Selat Muria - CNN Indonesia

  

Banjir Demak-Kudus, Sikap Pasif Pemerintah dan Momok Selat Muria

CNN Indonesia
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Banjir melanda sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam dua bulan terakhir, seperti di Semarang, Kudus, dan Demak. Banjir di jalur pantura itu menyebabkan puluhan ribu warga terpaksa mengungsi, bahkan tujuh orang meninggal dunia akibat banjir di Kudus.

Siklus bencana hidrometeorologi air itu menjadi langganan di Jawa Tengah. Pemerintah pun dianggap belum memberikan usaha maksimal atau terkesan pasif dalam menangani banjir di Jawa Tengah. Padahal, perlu upaya serius menyelesaikan akar masalah banjir di kawasan tersebut.

"Itu tidak bisa diselesaikan dalam satu kedipan mata. Itu tata ruangnya harus diurusi betul, dan diurus multisektor, dari daerah hingga pusat," kata Pengamat kebijakan publik PH&H Public Policy Interest Group Agus Pambagio saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (20/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agus menyebut hujan dan cuaca bukan menjadi faktor utama penyebab banjir di Jawa Tengah. Semarang khususnya memiliki topografi yang unik, yakni permukaan tanah lebih rendah dari permukaan air laut.

Oleh sebab itu, Agus meminta pemerintah serius memetakan masalah banjir di Jateng dan juga di daerah lain dari akarnya ketimbang pemerintah fokus menggenjot pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.

"Menurut saya dari pada bikin ibu kota baru ya itu diberesin dulu. Ini bukan hal yang baru terjadi, tapi sudah bertahun-tahun," kata dia.

Jokowi dianggap diam

Terpisah, Koordinator Omah Publik Nanang Setyono pun menilai pemerintah pusat bersikap diam soal banjir berlarut-larut yang melanda Demak, Kudus, dan Semarang.

Pemerintah pusat menurutnya memang sudah bekerja melalui BNPB dengan memberikan bantuan kepada warga. Namun, upaya itu pun dinilai tidak cukup.

"Perhatian pemerintah pusat kurang, dan sekali lagi bahwa yang dirasa oleh masyarakat terdampak banjir sangat berbeda perhatian dan perlakuannya pemerintah pusat dalam hal ini presiden dan menteri termasuk anggota DPR," kata Nanang.

Nanang menilai pemerintah dan legislator hanya aktif mendatangi warga saat masa kampanye atau menjelang kontestasi politik. Sementara masyarakat di sekitar Jawa Tengah mengeluhkan bantuan yang kurang, sehingga tak jarang warga memilih mengungsi di rumah kerabatnya di luar kota.

"Sebelum pemilu mereka aktif datang mendekati masyarakat, aktif datangi dimana ada bencana. Sekarang ini setelah pemilu selesai ya saya pikir hanya petugas BPBD, TNI, dan Polri saja yang aktif nengok," ucap dia.

Ia mengatakan banjir di sejumlah wilayah Jawa Tengah merupakan kumulatif dari berbagai masalah yang menahun. Salah satunya banyak aliran sungai yang tidak maksimal fungsinya.

Hujan tanpa intensitas tinggi pun menurutnya bisa membuat Jawa Tengah terendam.

Ia juga menyebut di Demak banyak ruang air atau ruang resapan air yang malah dijadikan sebagai lokasi industri. Pun banyak dataran tanah yang seharusnya menjadi tempat resapan air disulap menjadi pemukiman warga.

"Dan yang kita lihat bahwa banjir di Semarang, Demak, dan sekitarnya itu lebih banyak disebabkan karena luapan air yang mengalir di sungai-sungai. Nah itu adalah kewenangan pusat, untuk normalisasi aliran sungai itu," kata Nanang.

Pemerintah mesti perketat penggunaan air tanah

Dosen Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menyebut akar masalah banjir di Jateng terletak pada infiltrasi dan juga daya tampung air. Selain itu, perubahan iklim dan siklon tropis turut menambah beban penyebab banjir di Jateng.

Heri mengatakan Jepang dan Amerika telah menyiapkan daya tampung sebagai mitigasi peluang terjadinya hujan seribu tahunan atau hujan yang sangat ekstrem.

"Nah, di kita khususnya di Pantura. Kita tidak mempersiapkan daya tampung itu," kata Heri.

Sejumlah negara di luar negeri juga sudah menyediakan ruang daya tampung air, selain bentang alami seperti sungai. Ia mengatakan saat ini penurunan dataran tanah yang memperparah banjir di Jateng.

Ia menyebut angka kenaikan permukaan air laut itu tak sebanding dengan penurunan muka tanah, termasuk di Jakarta. Berdasarkan pengukuran via global positioning system (GPS), penurunan rata-rata di DKI mencapai centimeter per tahun.

"Penurunan tanah menyebabkan cekungan-cekungan banjir dan menyebabkan tanah menjadi lebih rendah dari laut. Itu yang terjadi di Semarang dan di Demak, itu banyak areanya itu sudah lebih rendah dari laut dan membentuk cekungan-cekungan," kata dia.

Cekungan tersebut kemudian sulit menyerap air sehingga menyebabkan banjir tidak mudah surut. Ia mengakui kondisi tersebut disebabkan banyaknya warga yang menyedot air tanah.

Pemerintah menurutnya perlu memantau ketat dan mengeluarkan larangan. Pemerintah pun harus menyediakan akses air kepada warga melalui cara lain.

"Berdasarkan perundang-undangan, institusi yang berkewajiban memberikan air terhadap masyarakat. Sebab masyarakat itu mempunyai hak atas air. Kalau tidak boleh menguasai air, berarti kalau misalnya melarang tapi tidak menyediakan itu salah di pemerintah," ucap Heri.

Di sisi lain, Ari menilai giant sea wall belum menjadi solusi jangka panjang banjir rob. Sebab apabila permukaan air laut semakin meninggi maka tanggul raksasa itu pun bisa rusak hingga dikhawatirkan jebol.

"Jadi yang paling efektif itu sebenarnya mengontrol bahkan menghentikan penurunan tanah, dengan cara itu tadi melarang penggunaan air tanah berlebihan. Tapi melarang saja tidak cukup, pemerintah harus menyediakan," ujarnya.

Potensi Selat Muria

Lebih lanjut, Heri juga mengomentari soal potensi terjadinya selat Muria imbas air bah yang terus menerus terjadi di Kudus dan Demak. Menurutnya secara realistis, potensi itu akan tetap terjadi mengingat selat terbentuk karena lautan yang semakin meninggi menutupi muka tanah yang terus menurun.

Namun, Heri meyakini pemerintah tidak akan membiarkan kejadian itu. Oleh sebab itu, mitigasi-mitigasi perlu dilakukan sedari sekarang untuk mencegah bencana buruk tersebut.

"Jadi teorinya bisa kembali lagi selat muria tetapi kemungkinan besar itu tidak akan terjadi," katanya.

(khr/tsa)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya