Cerita dari Masjid Tua dan Kampung Islam di Desa Adat Denpasar Bali - CNN Indonesia

 

Cerita dari Masjid Tua dan Kampung Islam di Desa Adat Denpasar Bali

CNN Indonesia

Rabu, 13 Mar 2024 05:00 WIB

Denpasar, CNN Indonesia --

Tulisan Kampung Islam Kepaon terpampang besar di gapura atau pintu masuk menuju Masjid Al Muhajirin, Denpasar, Bali. Masjid itu disebut-sebut sebagai salah satu yang tertua di Pulau Dewata.

Pintu masuk itu mirip sebuah gang yang luasnya sekitar empat meter dan bila berjalan kaki tak jauh dari gapura itu atau sekitar 70 meter saat memasuki kawasan tersebut terlihat masjid megah dengan dua lantai yang menjulang tinggi.

Masjid Besar Al Muhajirin berlokasi di Kampung Islam Kepaon yang berada di Desa Adat Kepaon, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selasa (5/3) sore, saat CNNIndonesia.com berkunjung ke sana suasananya ramai, terlihat para bocah dengan mengenakan sarung dan kopiah bersenda gurau bersama teman-temannya di halaman parkir masjid yang tak begitu luas. Adapula sejumlah orang berbaju koko yang asyik mengobrol di halaman parkir masjid dan duduk santai di bawah pohon rindang. 

Sekretaris Masjid Al Muhajirin, Muhammad Sayuti, mengatakan rumah ibadah itu telah ada sejak 1908 atau 1426 hijriah. Tanggal pendiriannya, kata dia, dalam ukiran kayu prasasti warisan dari para leluhur terdahulunya.

"Kalau di prasasti itu berdiri 1908 masehi. Ada semacam ukiran pahatan tangan dari kayu itu, mungkin orang tua dulu kepikiran bikin itu," kata Sayuti, saat ditemui di rumahnya yang tak jauh dari Masjid Al Muhajirin.

Dia mengatakan prasasti tersebut menjadi salah satu catatan sejarah yang menunjukkan Masjid Al Muhajirin dan Kampung Islam Kepaon telah lama ada di Denpasar. Selain prasasti sebagai warisan sejarah mimbar khotbah di Masjid Al Muhajirin juga menjadi saksi sejarah panjang Masjid Al Muhajirin. Prasasti dah mimbar khotbah merupakan dua peninggalan yang menjadi bukti sejarah Masjid Al Muhajirin.

"Kalau yang masih asli mimbarnya itu. Itu asli bawaan yang memang dari dulu, mulai pertama kali masjid ini ada," kata ya.

Ia juga menceritakan, sebenarnya peninggalan sejarah Masjid Besar Al Muhajirin ada empat, yaitu prasasti ukiran kayu yang tertera tahun berdirinya masjid, lalu mimbar khotbah, Al-Quran, dan lonceng. Tetapi untuk Al-Qur'an dan lonceng telah hilang, sehingga kini tersisa dua peninggalan sejarah saja di sana.

"Ada empat dulu, satu mimbar, dua prasasti, ada Al-Qur'an juga katanya dan kemudian satu lagi kalau tidak salah lonceng. Dulu ada lonceng di masjid itu, kalau ada bayi yang meninggal lonceng itu yang dibunyikan untuk mengumpulkan warga atau pemberitahuan," ujarnya.

"Kalau Al-Quran dan loncengnya hilang. Dan, itu kita tidak tahu posisinya apa memang dia rusak atau ke mana. Apakah, ada yang iseng ngambil, saya tidak tau juga," jelasnya.

Suasana di Masjid Besar Al Muhajirin di Kampung Islam Kepaon, Kota Denpasar, Bali, Selasa (5/3).Suasana di dalam Masjid Besar Al Muhajirin di Kampung Islam Kepaon, Kota Denpasar, Bali, Selasa (5/3). (CNN Indonesia/Kadafi)

Masjid ini, berlantai dua dan mempunyai tiga pintu utama yang dihias dengan kaligrafi-kaligrafi. Masjid ini memiliki empat menara yang menjulang tinggi bila dilihat dari kejauhan.

Sayuti mengatakan masjit itu setidaknya telah empat kali dipugar dan diperluas. Kini luasnya, kata dia, 1.828 meter persegi dengan  kapasitas sekitar 2.600 jemaah. Sementara, untuk desain bangunan masjid Al Muhajirin saat ini mengadopsi desain Masjid Nabawi, di Kota Madinah, Arab Saudi.

"Untuk kapasitasnya itu sekitar 2.600 jemaah dan untuk renovasi terakhir sekitar 8 hingga 9 tahun lalu, itu adanya empat menara baru. Dan itu kita mengadopsi desain masjid Madinah atau Nabawi," ujarnya.

Sebelumnya, bentuk Masjid Al Muhajirin seperti rumah limas atau rumah tradisional dan dulunya di depan masjid masih ada gapura dengan ornamen khas Bali.

"Dulu seperti rumah limas itu yang persegi empat. Di atasnya itu pakai sirap, setahu saya masih kecil itu pakai sirap kayu yang ditumpuk-tumpuk di atapnya dan di bawahnya baru genteng. Dulu, waktu saat saya masih kecil, di zaman saya itu, di depannya masih ada gapura ornamen Bali," jelasnya.

Masjid Hamsul Mursalin

Masjid di Kampung Islam Kepaon itu sendiri mulanya belum bernama AL Muhajirin, melainkan Hamsul Mursalin. Sayuti mengatakan nama masjid itu berubah jadi Al Muhajirin tak lepas dari kehadiran kaum muslim pendatang yang berasal dari berbagai daerah ke Bali.

Masjid Al Muhajirin yang filosofinya adalah orang-orang yang hijrah atau orang-orang yang meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain dan orang yang melakukan hijrah disebut muhajirin.

"Muhajirin filosofinya dari sana itu. Kalau dibahasakan hijrah sehingga Muhajirin orang-orang yang berhijrah, begitu filosofinya," ujarnya.

Sementara, untuk di Kampung Muslim Kepaon ada sebanyak 900 Kartu Keluarga (KK) tetapi tidak semuanya bermukim di Kampung Muslim Kepaon. Karena, berjalannya waktu banyak warga perantau yang berdomisili di Kampung Muslim Kepaon.

"Kalau sekarang sih beritanya waktu Pemilu kurang lebih 900 KK. Cuman yang menetap di kampung tidak banyak paling 400 KK dan sisanya itu di luar tidak tahu tinggalnya di mana cuman ber-KK di sini," ujarnya.

Tulisan ini adalah rangkaian dari kisah masjid-masjid kuno di Indonesia yang diterbitkan CNNIndonesia.com pada Ramadan 1445 Hijriah

Baca halaman selanjutnya


Page 2

CNN Indonesia

Rabu, 13 Mar 2024 05:00 WIB

Sayuti menjelaskan  berdirinya Masjid Al Muhajirin Ini tidak terlepas dari masyarakat yang hidup di sekitar masjid, yaitu warga Kampung Islam Kepaon. Kampung Islam Kepaon adalah kampung muslim yang dihuni warga asli Bali yang akar sejarahnya dari Puri Pemecutan.

"Kalau awal mula kedatangan kita di sini, yang lebih paham mungkin sejarahwan dari Puri Pemecutan, karena di sana asalnya kita. Kita [warga di Kampung Islam Kepaon] minim bukti sejarah, lain dengan kampung muslim lainnya yang bukti sejarahnya ada," ujarnya.

Berdasarkan penelusuran ke berbagai sumber, didapat sejarah terbentuknya Kampung Islam Kepaon masih berhubungan erat dengan Kerajaan Badung atau yang kerap disebut Puri Pemecutan. Dan, munculnya Kampung Muslim Kepaon juga tidak lepas dari kisah Raden Ayu Siti Khotidjah dan Raja Suryadiningrat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari berbagai cerita yang didapat, bahwa nama asli Raden Ayu Siti Khotidjah adalah Gusti Ayu Made Rai atau juga dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Raden Ayu Pemecutan, adalah seorang Putri Raja Pemecutan. Sementara, dari berbagai versi cerita, Raden Ayu Pemecutan diketahui menikah dengan Putra Raja Bangkalan, Madura, yang bergelar Raden Suryadiningrat.

Kemudian, berselang beberapa hari setelah menikah Raden Suryadiningrat memutuskan kembali ke Bangkalan, Madura, dengan mengajak sang istri. Sesampainya di Madura, kedua mempelai kembali menjalani upacara pernikahan secara Islam. Gusti Ayu Made Rai pun menjadi mualaf dan mengubah namanya menjadi Raden Ayu Siti Khotijah atau Raden Ayu Pemecutan.

Kemudian, beberapa tahun setelah menetap di Madura, Raden Ayu memutuskan untuk pulang ke Bali untuk menjenguk orang tua dan keluarganya lantas dia berangkat dengan pengawalan 40 prajurit.

"Kalau diperkirakan misalkan putri raja itu meninggalnya tahun berapa. Mungkin tiga atau lima tahun sebelumnya (leluhur) kita sudah di sini, diperkirakan kan begitu," ujar Sayuti.

Sayuti menyampaikan leluhurnya yang bermukim di Desa Adat Kepaon bukan keturunan Raja Suryadiningrat secara langsung. Sebab diceritakan turun temurun bahwa Raja Suryadiningrat dan Raden Ayu Siti Khotijah tak memiliki keturunan.

Leluhurnya di desa tersebut yang beranak pinak hingga kini adalah  keturunan para prajurit yang mengawal Raja Suryadiningrat dan Raden Ayu Siti Khotijah.

"Kita memang bukan keturunan raja secara langsung karena rajanya kan tidak punya anak. Putri (Raden Ayu Siti Khotijah) itu yang konon nenek moyang kita. Dan kita kan bukan keturunan langsung sebenarnya, Raja dari Madura Suryadiningrat itu ke sini dengan beberapa prajurit dan beberapa penggawanya, iya kita (keturunan) dari sananya bukan dari keturunan raja aslinya," ujar Sayuti.

"Raja dan para prajuritnya menetap di sini satu rombongan itu. Raja Suryadiningrat ke sini ceritanya mengobati Putri Pemecutan karena bisa sembuh dinikahkan, kan begitu ceritanya dan belum sempat punya anak. Keberadaan (leluhur) kita ini diyakini dari rombongan (Raja Suryadiningrat) yang menetap. Cuma, kita tidak mengerti rombongan yang dibawa itu apakah rakyat jelata, apakah memang ada patih dan segala macamnya, kita itu tidak tahu. Kebenaran itu yang tahu dari Puri Pemecutan sebenarnya," ujarnya.

prasasti yang menandai berdirinya Masjid Al Muhajirin pada 1426 Hijriah atau 1908 Masehi. Prasati kayu itu menjadi salah satu catatan sejarah yang menunjukan Masjid Al Muhajirin dan Kampung Islam Kepaon telah lama hidup dan tinggal di Kota Denpasar, Bali. (Dok. Facebook resmi Masjid Al Muhajirin)Masjid Al Muhajirin di Denpasar berdiri pada 1426 Hijriah atau 1908 Masehi. Prasati kayu ini menjadi salah satu catatan sejarah yang menunjukkan Masjid Al Muhajirin dan Kampung Islam Kepaon telah lama hidup dan tinggal di Kota Denpasar, Bali. (Dok. Facebook resmi Masjid Al Muhajirin)

Tradisi di bulan Ramadan

Kampung Muslim Kepaon saat Bulan Ramadan memiliki tradisi unik yaitu Megibung atau para warga makan bersama dalam satu wadah yang sama di dalam Masjid Al Muhajirin. Sayuti menerangkan tradisi megibung ini dilakukan saat warga berbuka puasa bersama di bulan Ramadan.

Kemudian, untuk warga menyediakan hidangan makanan dibagi menjadi tiga tempat. Warga Kampung Islam Kepaon menyumbang bergiliran dari sisi selatan, tengah, dan utara setiap 10 hari. Saat 10 hari Ramadan ini sumbangan dimulai dari warga sebelah selatan.

"Kita sebenarnya sama pada umumnya ada tarawih dan tadarus Alquran cuma dulu kita dibagi tiga wilayah. Wilayah Selatan, tengah dan utara jadi ada tiga wilayah. Jadi, setiap Ramadan kita khataman tiga kali. Jadi 10 Ramadan pertama kita khataman, 10 hari kedua kita khataman lagi dan 10 hari ketiga kita selamatan semacam seremonial," ujar Sayuti.

"Jadi 10 (hari) Ramadan itu yang Selatan bikin hidangan dan di hari 20 warga di tengah dan terakhir yang warga yang di sebelah utara," ujarnya.

Kemudian, untuk menu yang disajikan adalah nasi kapar atau nasi yang diletakkan di wadah atau talam besar seperti nasi tumpeng dengan beraneka macan lauk pauk.

"Menu yang disajikan itu ada namanya nasi kapar. Iya nasi pakai talam besar itu semacam tumpengan isinya ayam ada serundeng ada telur menu khas kita di sini. Jadi, bahasa Bali-nya itu megibung atau makan bersama, dalam satu talam itu rata-rata isinya enam atau lima orang. Jadi setiap warga itu membawa (hidangan) ke masjid," ujarnya.

Tradisi megibung yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu maknanya untuk menjalin silaturahmi dan kerukunan antara warga di Kampung Muslim Kepaon.

"Fokusnya kita disilaturahminya itu maksudnya orang tua dulu," tutup Sayuti.

(kdf/kid)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya