Marak perundungan, KPPPA soroti belum diterapkannya Sekolah Ramah Anak - Antaranews

 Marak perundungan, KPPPA soroti belum diterapkannya Sekolah Ramah Anak

antaranews.com

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut bahwa belum diterapkan-nya kebijakan Sekolah Ramah Anak merupakan salah satu penyebab masih maraknya perundungan di satuan pendidikan, termasuk pondok pesantren.

"Belum diimplementasikannya kebijakan Sekolah Ramah Anak, implementasi dari Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 dan atau pedoman Pesantren Ramah Anak," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Hal ini dikatakannya menanggapi kasus penganiayaan anak di Pondok Pesantren Hanifiyyah di Dusun Kemayan, Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang berujung tewasnya korban.

Kemudian adanya praktik senior dan junior yang masih 'membudaya' di satuan pendidikan.

Baca juga: Kementerian PPPA: Semua pesantren harus penuhi standar LPKRA

Baca juga: Kementerian PPPA minta polisi usut dugaan perundungan di SMA Tangsel

"Ada praktek yang dibiasakan dan terus dilanjutkan antara junior dan senior dengan alasan perkenalan atau alasan lain yang dilakukan oleh kelompok siswa atau seniornya," kata Nahar.

Penyebab lainnya, kuantitas dan kualitas pengasuh lembaga pendidikan yang tidak seimbang dengan jumlah siswa atau santri dan kapasitas pengasuh/tenaga kependidikan dalam melakukan pendampingan di dalam kelas dan pengawasan di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.

Sebelumnya, seorang santri berinisial BM (14) meninggal dunia di pesantren di Kediri, Jatim.

Informasi awal yang diungkapkan pihak pesantren terkait penyebab santri tersebut meninggal adalah karena terjatuh di kamar mandi.

Kemudian akhirnya diketahui bahwa BM menjadi korban penganiayaan yang diduga dilakukan para seniornya.

Polisi selanjutnya menangkap empat pelaku yang diduga terlibat dalam penganiayaan terhadap BM.

Empat pelaku terdiri dari dua orang dewasa dan dua orang masih usia anak, yakni MN (18) asal Sidoarjo, MA (18) asal Kabupaten Nganjuk, AF (16) asal Denpasar Bali, dan AK (17) asal Surabaya.

Polisi menduga terjadi kesalahpahaman di antara anak-anak tersebut sehingga menyebabkan kejadian penganiayaan berulang hingga berujung tewasnya korban.*

Baca juga: Roadmap perlindungan anak daring penting karena anak aktif berinternet

Baca juga: Pemerintah susun "roadmap" perlindungan anak di ranah daring

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya