Tinjau Kualitas Uang Palsu Senilai Rp 3,7 Miliar, Bank Indonesia Jawa Timur Soroti 4 Aspek
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fcdn-2.tstatic.net%2Fjatim%2Ffoto%2Fbank%2Fimages%2Fkepala-deputi-kantor-perwakilan-bank-indonesia-jawa-timur-imam-subarkah-di-mapolda-jatim.jpg)
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Luhur Pambudi
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Pihak Bank Indonesia (BI) menganggap produk uang palsu buatan sindikat pencetak uang palsu yang berhasil dibongkar Polda Jatim beberapa waktu lalu, terbilang berkualitas rendah.
Produk uang palsu yang diproduksi sindikat tersebut sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan uang asli dari aspek manapun.
Mulai dari aspek kecerahan warna, tanda gambar air (watermark), dan tanda pengaman berupa benang yang lazim ditanam pada uang asli.
Kemudian, tekstur permukaan kertas, kualitas dari jenis kertas yang digunakan, hingga teknis atau metode pencetakannya.
1. Bahan Kertas
Dari jenis bahan lembaran kertas, sindikat tersebut menggunakan bahan baku kertas uang palsu kualitas rendah, atau jenis kertas yang lazim digunakan oleh masyarakat.
Yakni jenis kertas buram yang biasanya digunakan untuk aktivitas administrasi di perkantoran.
"Bahan kertas uang yang asli memiliki tanda khusus untuk bahan uang," ujar Kepala Deputi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Timur, Imam Subarkah
2. Pewarnaan Uang
Menurut Subarkah, pewarnaan uang asli cenderung tampak terang, ketimbang warna uang palsu yang diproduksi oleh sindikat uang palsu.
Produk uang palsu buatan sindikat tersebut, cenderung berwarna buram, meskipun memiliki kategori warna yang sama, yakni warna merah khas uang kertas pecahan Rp 100 ribu.
"Karena latek cetak tintanya. Uang dicetak ini cenderung lebih buram dibandingkan uang asli, lebih terang," ungkapnya.
3. Kualitas Tekstur Hasil Cetak Uang
Uang palsu yang diproduksi anggota sindikat tersebut, cenderung bertekstur halus, karena dipengaruhi jenis kertas bahan uang palsu yang mengandalkan kertas buram.
Dibandingkan uang asli, yang cenderung bertekstur kasar. Hal itu disebabkan oleh jenis kertas yang dipakai uang asli adalah kertas khusus yang tidak diperjualbelikan bebas.
Proses pencetakan uang asli yang terbilang canggih dengan berbagai macam tahap, membuat tekstur uang asli cenderung kasar saat diraba.
"Teksturnya yang ini cenderung halus, dari yang asli. Karena (uang asli) cetaknya kasar kalau diraba," jelasnya.
4. Penanda Pengaman Uang
Subarkah menerangkan, terdapat dua entitas penting dalam penanda pengamanan uang. Yakni pada keberadaan tanda gambar air (watermark), dan seutas benang yang ditanam pada lembaran uang asli.
Pada produk uang palsu milik sindikat yang terungkap, dua entitas tersebut, tidak dapat dipenuhi. Atau dalam arti lain, entitas itu tidak dapat ditiru.
Tanda watermark pada uang palsu itu ternyata hanya pencetakan gambar biasa yang dibuat dengan kualitas kecerahan yang minim.
Sedangkan tanda benang pada uang palsu, ternyata berupa gambar biasa, dan bukanlah seutas benang khusus yang ditanam laiknya lembaran uang asli.
"Kalau uang asli itu ditanam, dan kalau uang palsu hanya dicetak (gambar) biasa," tuturnya.
Oleh karena itu, Subarkah mengimbau masyarakat untuk senantiasa menerapkan teknik pendeteksi keaslian uang yang sudah sering dikampanyekan, yakni dilihat, diraba, dan diterawang (3D).
Dilihat, yakni melihat kategori jenis pewarnaan uang dari tampilan.
Diraba, yakni memastikan tekstur uang asli yang seharusnya kasar, bukannya halus.
Diterawang, yakni memastikan keberadaan watermark, dan benang yang lazim ditanam pada uang asli.
Meski hanya teknik sederhana, namun cara tersebut sangat efektif dan dapat digunakan oleh masyarakat yang masih ragu dengan keaslian uang yang sedang diperolehnya saat bertransaksi sehari-hari.
"Kami imbau masyarakat pakai cara itu, 3D saat transaksi, khususnya transaksi di malam hari," pungkasnya.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Gatot Repli Handoko mengungkapkan, sindikat itu beroperasi sejak 10 bulan lalu, dan telah mencetak uang palsu dalam pecahan Rp 100 ribu, dengan total nominal Rp 3,7 miliar.
Cara pelaku mengeruk keuntungan adalah menjual lembaran uang palsu tersebut dengan rasio perbandingan 1:3. Yakni uang palsu senilai Rp 300 ribu, ditukar dengan uang asli senilai Rp 100 ribu.
"Malam hari biasa mereka edarkan. Dan korbannya kebanyakan orang-orang awam. Kami akan usut terus ini," lugas Gatot.
0 Komentar