Awas World War III, Ini 'Senjata' Mematikan Rusia Tekuk Eropa - CNBC Indonesia

 

Awas World War III, Ini 'Senjata' Mematikan Rusia Tekuk Eropa

sef, CNBC Indonesia
News
28 January 2022 06:30
FILE PHOTO: Russian President Vladimir Putin attends a meeting with his Iranian counterpart Ebrahim Raisi in Moscow, Russia January 19, 2022. Sputnik/Pavel Bednyakov/Pool via REUTERS ATTENTION EDITORS - THIS IMAGE WAS PROVIDED BY A THIRD PARTY./File Photo
Foto: Presiden Rusia, Vladimir Putin (Sputnik/Pavel Bednyakov/Pool via REUTERS)

Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik Rusia dan Ukraina membawa "geger" bagi dunia. Tak hanya kedua negara, konflik juga menyeret Amerika Serikat (AS) dan NATO yang kebanyakan negara Eropa.

Rusia diyakini Barat akan menyerang Ukraina. Masalahnya kompleks, mulai dari ketegangan Ukraina dengan milisi pro Rusia di timur, kedekatan Kyiv dengan Barat hingga antipati Kremlin soal kemungkinan berdirinya pangkalan NATO di Eropa Timur.

Pilihan Redaksi

Negara di luar konflik juga buka suara mengenai eskalasi militer yang terjadi antara blok NATO pimpinan Amerika Serikat (AS) dan Rusia di wilayah Ukraina. Terbaru, Kamis (27/1/2022), negara pimpinan Presiden Xi Jinping, China, menyebut bahwa permasalahan ini harus diselesaikan secepatnya.

Namun sebenarnya Rusia memiliki senjata "mematikan" melawan Eropa. Bukan bomber melainkan gas alam.

"Jika keadaan menjadi sangat kacau di Ukraina, orang hanya bisa mengamati bahwa Eropa berada dalam posisi yang sangat rentan," kata penulis The Bridge, dalam sebuah studi tentang perdagangan gas alam antara Rusia dan Eropa dikutip The New York Times.

"Jika kita (Eropa) mencoba mengunci mereka (Rusia) ... maka mereka (Rusia) akan mendatangi penderitaan kita, yaitu energi (gas)," kata Kepala Komoditas RBC Capital Markets, Helima Crof.

Mengapa?

Eropa adalah pelanggan terbesar bahan bakar fosil itu. Dan, Rusia yang memilikinya cadangan gas alam hingga 37,4 triliun meter kubik, memasok sepertiganya ke Benua Biru.

Ini terjadi di tengah produksi domestik Eropa yang menurun. Produksi Belanda yang pernah menjadi produsen gas utama di Uni Eropa (UE) misalnya, jeblok seiring penutupan bertahan ladang besar di Groningen akibat gema bumi karena dipicu produksi gas.

Ini juga seiring meningkatnya permintaan Jerman, yang berambisi menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) untuk memenuhi tujuan lingkungan. Hal sama dengan Inggris yang menutup pembangkit listrik nuklir.

Meskipun Eropa telah melakukan investasi besar dalam energi terbarukan seperti angin dan tenaga surya, ternyata sumber pasokan konvensional masih dibutuhkan. Pembangkit listrik berbahan bakar gas adalah salah satu dari sedikit pilihan yang tersisa.

Gas mengalir melalui jaringan pipa Rusia. Memanaskan rumah hingga pembangkit listrik di sebagian Eropa. Namun, sejak pertengahan 2021 hingga kini, Eropa mengalami krisis energi. Pasalnya pasokan sedikit dan harga pun melejit.

Banyaknya permintaan seiring dibukanya penguncian (Covid-19), tak diiringi dengan jumlah pasokan. Aliran gas, sepertiganya melalui Ukraina, macet karena kerusakan pipa.

Harga gas alam sempat naik lima kali lipat tahun lalu. Meskipun harga sekarang sekitar setengah dari puncaknya tahun 2021, krisis masih terjadi di tengah musim dingin Eropa.

Harga gas yang tinggi meningkatkan biaya listrik, mengancam kenaikan tagihan konsumen. Ini pun telah mendorong beberapa pabrik yang haus energi- seperti pupuk dan peleburan logam-tutup sementara.

Rusia sendiri "menambah" kesengsaraan Eropa soal ini. Melansir laman yang sama, tahun lalu hingga kini, Negara Presiden Vladimi Putin ini mengekspor gas lebih sedikit dari biasanya.

Rusia menjaga tingkat penyimpanan di fasilitas gas Eropa yang dimiliki Gazprom, perusahaan BUMN Rusia, di titik terendah. Hal itu meningkatkan kecemasan tentang apakah cukup gas akan tersedia untuk Eropa melewati musim dingin.

"Jika Rusia menghentikan semua gas, UE perlu menaikkan impor gas alam cair (LNG) dan memberlakukan langkah-langkah darurat untuk mengurangi permintaan ... untuk menghindari kekurangan yang parah. " tulis sebuah lembaga thin tank Bruegel, dikutip Reuters.

"Skenario perang akan menyiratkan keputusan yang sulit dan mahal bagi Eropa untuk mengatur situasi secara tertib," kata Simone Tagliapietra, seorang rekan senior di Bruegel menekankan konsekuensi yang mendalam bagi perekonomian Europa.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya