Dulu Soeharto Kunjungi Bosnia di Tengah Pertempuran, Akankah Presiden Jokowi Punya Nyali ke Ukraina? - Tribunnnews

 

Dulu Soeharto Kunjungi Bosnia di Tengah Pertempuran, Akankah Presiden Jokowi Punya Nyali ke Ukraina? - Halaman all

Tentara Ukraina di lokasi pertempuran dengan kelompok penyerang Rusia di ibukota Ukraina, Kyiv, 26 Februari 2022 pagi. Di tempat ini, Ukraina memukul mundur tentara Rusia.
Tentara Ukraina di lokasi pertempuran dengan kelompok penyerang Rusia di ibukota Ukraina, Kyiv, 26 Februari 2022 pagi. Di tempat ini, Ukraina memukul mundur tentara Rusia.

POS-KUPANG.COM - Pertempuran antara militer Ukraina melawan invasi pasukan Rusia, kini masih terus berlanjut.

Belum ada tanda-tanda kalau peperangan yang terjadi sejak Kamis 24 Februari 2022 itu akan segera berakhir.

Terbetik kabar bahwa Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky menjadi target utama peperangan tersebut.

Kabar lainnya juga menyebutkan bahwa Presiden Volodymyr Zelensky kini dikawal ekstra ketat.

Pasalnya, ia sudah tiga kali lolos dari penyergapan yang dilakukan oleh militer terlatih Rusia.

Sementara saat ini, simpati dunia terhadap Ukrania semakin besar. Mayoritas negara di bawah PBB memuji Presiden Ukraina yang tetap bertempur melawan gempuran Rusia.

Dan, Indonesia sebagai negara dengan politik luar negeri yang bebas aktif, kini dinantikan dunia internasional terkait upayanya mendamaikan kedua negara bertikai.

Penantian dunia internasional itu, setidaknya membawa kita mengenang kisah Presiden Soeharto yang melakukan kunjungan ke Bosnia Herzegivina saat negara itu sedang dilanda pemerangan.

Menyebut nama Soeharto, mantan Presiden Indonesia, memang tak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.

Pada masa kepemimpinannya, Soeharto juga cukup banyak berkiprah bagi negara-negara lain. Satu di antaranya adalah Bosnia.

Kala masih berkuasa, Presiden Soeharto pernah mengunjungi Bosnia Herzegovina, pada tahun 1995.

Kisah tentang kunjungan itu, diungkap kembali oleh pengawal Soeharto yang juga Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden saat itu, Sjafrie Sjamsoeddin.

Sjafrie Sjamsoeddin menceritakan pengalamannya ketika mengawal Soeharto mengunjungi Bosnia.

Kisah itu diceritakannya dalam buku "Pak Harto The Untold Stories".

Seperti mengutip dari buku tersebut, begitu tiba di Bosnia, Soeharto langsung disambut hangat oleh Presiden Bosnia saat itu, Alija Izetbegovic.

Keduanya terlibat pembicaraan akrab selama satu jam.

Selanjutnya, bersama Menteri Luar Negeri saat itu, Ali Alatas, Soeharto melakukan sesi jumpa pers.

Sedangkan, Sjafrie bersama petinggi militer lainnya, Mayor Unggul, hanya mendampingi di ruang tunggu.

Namun, tiba-tiba Sjafrie melaporkan sesuatu ke Soeharto.

Laporan itu terkait ditemukannya proyektil meriam.

"Pak, saat Bapak mengadakan pertemuan dengan Presiden Bosnia tadi, ada proyektil meriam jatuh tiga kilometer dari sini," kata Sjafrie melaporkan.

Mendapati laporan itu, sejenak Soeharto tampak tenang.

Sjafrie kemudian melanjutkan laporannya.

"Pak, waktu kita hanya tiga jam," ucap Sjafrie.

Soeharto kemudian menjawab laporan Sjafrie tersebut.

"Ya, beritahu Ali Alatas supaya selesai tepat waktu. Kita mesti berangkat tepat waktu," ujar Soeharto.

Menurut Sjafrie, saat itu suasana perang begitu mencekam.

Suasana tembakan terdengar di kejauhan.

Pengawalan terhadap Presiden Soeharto (net)

Di sejumlah tempat terlihat para prajurit yang bersiaga penuh.

"Pak, ini persis dengan enam jam di Jogja."

"Waktunya enam jam, yaitu tiga jam perjalanan pergi-pulang, tiga jam kita di darat, jadi itu mirip enam jam di Jogja," kata Sjafrie.

Sjafrie kemudian menanyakan alasan Soeharto yang tetap mendatangi Bosnia walaupun kondisi sedang kritis.

Sjafrie pun mendapatkan jawaban yang menurut dia sama sekali tak diduganya.

"Ya, kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non-Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang, ya kita datang saja. Kita tengok," jawab Soeharto tenang.

"Tapi, ini kan risikonya besar," tanya Sjafrie lagi.

"Ya, itu kita bisa kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka menjadi tambah semangat," ucap Soeharto.

Akankah kisah tentang jejak Soeharto di Bosnia itu diikuti oleh Presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo?

Namun terlepas dari keberanian sang presiden, setidaknya invasi Rusia ke Ukraina semestinya dihentikan saat ini juga.

Pasalnya, tindakan itu telah menimbulkan korban jiwa yang tak terkira jumlahnya juga kerugian material yang tak terhitung banyaknya.

Tapi kasus invasi Rusia ke Ukraina ini sesungguhnya dilatari oleh sikap Presiden Vladimir Putin yang tak ingin Presiden Ukraina besar kepala.

Tentu, Presiden Rusia punya alasan yang fundamental sehingga berani menyerang Ukraina seperti sekarang.

Hanya saja, bila Vladimir Putin tak lagi suka dengan Presiden Volodymyr Zelensky, mengapa harus melumpuhkannya dengan peperangan?

Bukankah masih banyak cara yang bisa diambil untuk membungkam Presiden Ukraina selain peperangan yang merenggut ribuan nyawa?

Atas konflik Rusia vs Ukraina yang berlatarbelakang politik itu, sesungguhnya kisah pergantian Presiden yang sempat mengguncang dunia juga pernah terjadi di Indonesia.

Turbolensis politik di Indonesia itu terjadi, ketika era Orde Baru tumbang bersama Presiden Soeharto dan diganti dengan era reformasi.

Namun ada hal yang mengejutkan, adalah ketika Soeharto turun, ia sudah menyiapkan penggantinya sebelum ia melepaskan jabatan sebagai presiden.

Diketahui, Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden Indonesia pada Mei 1998.

Soeharto memang menjadi presiden selama 32 tahun.

Kekuasaannya tumbang setelah adanya krisis multidimensi yang saat itu melanda Indonesia.

Termasuk juga melambungnya harga sejumlah kebutuhan pokok.

Akibatnya, gelombang reformasi pun muncul, dan mendesak Soeharto agar segera mundur dari jabatannya.

Karena desakan dari berbagai pihak, Soeharto kemudian memutuskan mundur dari posisinya sebagai presiden.

Meski demikian, sebelum didesak mundur dari jabatannya, Soeharto sebenarnya sudah pernah ditanya mengenai sosok yang akan menggantikannya.

Itu seperti yang terdapat dalam buku "Sisi Lain Istana, Dari Zaman Bung Karno Sampai SBY", karya J Osdar.

Dalam buku terbitan tahun 2014 itu disebutkan, beberapa bulan menjelang Pemilu 1997, tepatnya pada bulan Maret 1997, Soeharto pernah berdialog dengan anggota Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Dialog tersebut terjadi di Bina Graha, komplek Istana Kepresidenan, Jakarta.

Saat itu, anggota KNPI tersebut menanyakan sesuatu kepada Soeharto.

Tepatnya, mengenai pengganti Soeharto.

"Apakah Bapak tidak mempersiapkan pengganti sehingga dapat melanjutkan pembangunan?" tulis Osdar menirukan pertanyaan anggota KNPI tersebut.

Mendapati pertanyaan itu, Soeharto pun bereaksi.

Saat itu, Soeharto senyum, dan batuk-batuk kecil.

Selanjutnya, Soeharto memberikan jawabannya.

"Mekanisme dan sistemnya sudah ada, orangnya juga sudah ada, yakni satu dari 180 juta orang. Masak tidak satu dari 180 juta orang yang mampu jadi presiden. Cari dari sekian banyak orang tersebut, pasdi ada. Saya tidak berambisi jadi presiden seumur hidup, kenapa ribut-ribut," tulis Osdar menirukan jawaban Soeharto saat itu.

Tak hanya menjawab pertanyaan saja, Soeharto justru berbalik menyampaikan pertanyaan.

"Kapan saya berhenti jadi presiden?" tanya Soeharto.

Mendengar pertanyaan Soeharto, sekitar 150 orang anggota KNPI yang saat itu ada di tempat itu mendengungkan suaranya.

Soeharto kemudian melanjutkan.

Dia mengatakan, tidak akan meletakkan jabatannya di tengah jalan, karena merupakan sikap yang setengah-setengah, dan melanggar UUD 1945.

"Itu sama saja dengan melanggar hukum," ujar Soeharto saat itu lalu batuk.

Mendengar jawaban Soeharto semacam itu, anggota KNPI lantas tersadar Soeharto agak marah.

Seorang anggota KNPI lainnya kemudian mengatakan sesuatu.

"Kami berharap Bapak bersedia dipilih lagi karena orang seperti Bapak ini jarang ada, apalagi keteladanan Bapak sudah Bapak tunjukkan selama ini, yakni menerapkan UUD 1945 dan Pancasila secara murni, dan konsekuen," kata anggota KNPI tersebut.

Pesan Khusus Soeharto ke Dubes di Malaysia Saat Golkar Kalah, Kata Benny Moerdani, Sebut Soal Sarung

Soeharto pernah menyampikan pesan khusus ke seorang Dubes di Malaysia melalui Benny Moerdani.

Pesan itu disampikan saat Golkar kalah suara di Malaysia.

Penampilan Presiden Jokowi dan Iriana (Capture Instagram Jokowi)

Pesan apakah yang disampaikan Benny Moerdani dari Soeharto itu?

Simak kisahnya berikut ini:

Seperti diketahui, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, terjadi di Indonesia selama 32 tahun.

Selama Orde Baru berdiri, antara Soeharto dan Golkar memang seolah tidak dapat dipisahkan.

Sebab, Golkar juga merupakan satu unsur penting dalam pemerintahan Orde Baru.

Sehingga, bagi Soeharto kemenangan Golkar dalam setiap pemilu termasuk sangat penting.

Oleh karena itu, Soeharto akan berusaha semaksimal mungkin agar Golkar mampu menang di seluruh daerah yang ada di Indonesia.

Termasuk di luar negeri, Soeharto juga berusaha memenangkannya.

Soeharto akan mengerahkan seluruh kemampuan, dan jaringan yang dimilikinya untuk memenangkan Golkar di luar negeri.

Itu seperti yang disampaikan oleh Rais Abin dalam buku "Catatan Rais Abin Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah 1976-1979", yang ditulis oleh Dasman Djamaluddin, dan diterbitkan oleh Kompas pada 2012 lalu.

Rais Abin merupakan Letnan Jenderal (Purnawirawan) TNI.

Rais Abin juga pernah menjadi Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah.

Selain itu, dia juga pernah menjadi Duta Besar Indonesia di Malaysia pada pemerintahan Soeharto.

Terkait upaya Soeharto untuk memenangkan Golkar di luar negeri, Rais Abin memang memiliki sebuah pengalaman.

Kisah itu terjadi saat dia masih menjadi Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Malaysia di pemerintahan Orde Baru.

Kala itu, Rais Abin tiba-tiba saja mendapatkan telepon dari Benny Moerdani di Jakarta.

Benny Moerdani menanyakan kepada Rais Abin perihal kekalahan Golkar di Malaysia.

"Eh, bagaimana itu (soal kekalahan Golkar)?" tanya Benny Moerdani kepada Rais Abin meminta penjelasan.

Mendapatkan pertanyaan dari Benny Moerdani seperti itu, Rais Abin pun segera menjawabnya.

"Habis bagaimana lagi, di sini (Malaysia) kan banyak suku Minang dan Aceh. Mereka lebih simpati kepada Islam. Mau bilang apa?" jawab Rais Abin dari Kuala Lumpur, Malaysia.

Mendengar jawaban semacam itu dari Rais Abin, Benny Moerdani pun segera bereaksi.

Bahkan, Benny Moerdani juga menyampaikan pesan khusus dari Soeharto.

"Ini ada pesan Pak Harto. Rais suruh saja pakai sarung tidak usah pakai celana panjang lagi," ungkap Benny Moerdani sambil bergurau.

Setelah mendengar pesan Soeharto itu, Rais Abin pun tertawa.

Benny Moerdani juga ikut tertawa.

"Benny, bilang sama Pak Harto, saya dari dulu lebih suka pakai kain sarung dari pada celana panjang. Lebih praktis, bisa dijadikan selimut, juga bisa untuk pakaian. Lebih bebas bergerak," ucap Rais Abin. (*)

Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Pengawal Ungkap Cara Soeharto Hadapi Detik-detik Mencekam di Bosnia, Tembakan Pecah, https://jatim.tribunnews.com/2022/03/05/pengawal-ungkap-cara-soeharto-hadapi-detik-detik-mencekam-di-bosnia-tembakan-pecah?page=all

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya