Peta: Kunci VOC Menguasai Indonesia - tirto

 

Peta: Kunci VOC Menguasai Indonesia

Peta: Kunci VOC Menguasai Indonesia
Ilustrasi Peta Indonesia dan VOC. FOTO/iStockphoto
Belanda kehilangan akses terhadap barang-barang eksotis Asia saat berperang lawan Spanyol. Mereka baru bisa mendapatkannya lagi setelah menguasai peta.
tirto.id - "Kapan terakhir kali Anda tersesat, benar-benar tersesat, di jalan?" tanya Bill Kilday.

Dalam memoar berjudul Never Lost Again: The Google Mapping Revolution That Sparked New Industries and Augmented Our Reality (2018), Kilday mengatakan "hampir semua insan manusia di dunia" tak pernah tersesat lagi di jalanan mana pun usai Google Maps hadir ke dunia pada 2005 lalu merasuk dalam genggaman tangan masyarakat lewat iPhone yang diperkenalkan Apple pada 2007. Kilday sendiri mengaku terakhir kali tersesat di jalanan Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, sekitar awal 2000-an.

Kilday saat ini adalah Direktur Pemasaran Niantic (pengembang Pokemon Go). Dia merupakan mantan Direktur Pemasaran Keyhole, layanan peta digital yang dimanfaatkan CNN untuk melaporkan invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003. Setahun kemudian, Oktober 2004, Keyhole diakuisisi Google demi membangun Google Maps dan Google Earth.


Google Maps, rangkum Kilday dalam memoarnya, memberikan pengetahuan geospasial dan memercik keahlian/kesadaran wilayah pada masyarakat secara cuma-cuma serta seketika. Dengan mengikuti petunjuk "turn-by-turn navigation" di Google Maps atau memanfaatkan (secara tak sadar) application programming interface (API) Google Maps via Gojek, Grab, Uber, dan pelbagai layanan ride-hailing/ride-sharing, tidak ada lagi istilah "jalanan asing" bagi masyarakat.


Inilah keistimewaan yang tidak pernah dirasakan manusia pra-Google Maps.

Keistimewaan ini, kata Mark Monmoiner dalam buku berjudul Rhumb Lines and Map Wars: A Social History of the Mercator Projection (2004), sangat didambakan bangsa Eropa di abad pertengahan. Ini terjadi karena, selain menentukan hidup-mati pelaut/penjelajah, peta--representasi dua dimensi untuk dunia tiga dimensi--adalah sumber kekuasaan.


Peta sebagai sumber kekuasaan terlihat jelas dalam kasus Belanda, atau lebih tepatnya persekutuan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Inilah kunci mengapa mereka dapat tiba dan akhirnya menguasai wilayah yang kini bernama Indonesia.

Berakit-rakit Mencuri Peta dari Portugal

Rakyat Belanda memulai perang melawan Imperium Spanyol demi meraih kemerdekaan pada 1568. Meski peristiwa yang dikenal sebagai Perang 80 Tahun ini baru selesai pada 1648 lewat Perdamaian Münster, namun pada 1581 Belanda telah memproklamasikan sebuah republik bernama Tujuh Provinsi (Zeven Provincien) alias Republik Belanda.

Tentu Spanyol tidak mengakui republik tersebut. Raja Spanyol Philip II, yang juga menguasai Portugal, marah. Ia kemudian menghentikan kerja sama perdagangan antara Portugal dan Belanda. Akibatnya, Belanda kehilangan akses terhadap pelbagai kebutuhan, wabil khusus produk-produk eksotis dari Asia yang memang saat itu dimonopoli Portugal.

Tak ingin kenikmatan rempah-rempah sirna, para pedagang Belanda khususnya yang tinggal di kota-kota pelabuhan seperti Amsterdam, Hoorn, dan Rotterdam kemudian sepakat mendirikan perusahaan pelayaran dan perdagangan. Mereka ingin menjelajah ke Asia dan membawa pulang rempah-rempah menggunakan tangan sendiri.

Sialnya, sebagaimana dipaparkan Djoeke van Netten dalam artikel "Mapping Travel Knowledge: The Use of Maps on the First Dutch Voyages to Asia" di buku Trading Companies and Travel Knowledge in the Early Modern World (2022), Belanda tidak tahu sama sekali rute menuju Asia. Saat itu pengetahuan geospasial tentang dunia dalam bentuk peta, khususnya peta menuju Asia, hanya dimiliki Portugal dan Spanyol--serta kemudian Inggris.

Para pedagang Belanda enggan menyerah dan lantas bersiasat: berusaha mencuri pengetahuan kartografi milik Portugal.

Dalam proses tersebut ada dua nama sentral yang muncul: Dirck Gerritsz Pomp dan Jan Huygen van Linschoten. Keduanya adalah warga Belanda yang punya pengalaman berlayar ke Asia sebagai awak kapal Portugal. Van Linschoten bahkan sempat menjadi sekretaris Uskup Agung Portugis di Goa (India).

Lewat Pomp dan van Linschoten-lah perlahan segala peta, manuskrip, hingga catatan perjalanan ke Asia berlabel "rahasia" milik Portugal berhasil dicuri dan diterjemahkan ke Belanda. Saat itu perantaranya (juga berstatus mata-mata) adalah Cornelis de Houtman yang bersiaga di Lisbon, Portugal.

Peta paling berharga milik Portugal tersebut bernama Portuguese Roteiros. Peta ini menggambarkan secara presisi bagaimana Portugal berlayar ke Asia dan di mana saja wilayah kekuasaan mereka berada.

Kees Zandvliet dalam "Mapping the Dutch World Overseas in the Seventeenth Century" (Cartography in the European Renaissance Vol. 3 2007) mengatakan meskipun segala alat kartografi Portugal berlabel "rahasia", dijaga ketat oleh negara, dan siapa pun yang membocorkannya akan dihukum berat, apa yang dilakukan Belanda tak layak dianggap "mencuri". Sebabnya, alih-alih menugaskan lembaga khusus yang dinaungi/dilindungi negara, pemerintah Portugal memilih melimpahkan tugas membuat peta ke perusahaan swasta dalam negeri alias pihak ketiga. Seperti tabiat pelbagai perusahaan zaman itu, pihak ketiga tersebut senang mempekerjakan buruh murah, tak peduli dari mana mereka berasal. Dari celah inilah Belanda berhasil mengambil ilmu Portugal.

Berenang-renang ke Nusantara untuk Berkuasa

Bermodal peta dan pelbagai alat geospasial yang berhasil diambil Pomp dan van Linschoten, Belanda kemudian mendirikan Compagnie van Verre (Perusahaan Jarak Jauh) pada 1594. Pelayaran pertama atau eerste schipvaert dilakukan setahun kemudian. Saat itu yang memimpin rombongan adalah oppercopman atau 'bos dagang' yang tidak lain sang mata-mata di Lisbon, Cornelis de Houtman.

Tentu peta yang dicuri Belanda tidak sama dengan peta ala Google Maps atau Openstreetmap yang sangat mudah dipahami. Kembali merujuk paparan van Netten, peta buatan Portugal--yang terinspirasi Gerardus Mercator--itu dipenuhi oleh bagan dan garis-garis khayal navigasi yang harus dipatuhi pelaut dengan saksama.

Karena jam super akurat yang berguna untuk menentukan longitude (garis bujur) belum tersedia, diperlukan keahlian khusus membaca peta. Mereka harus mampu mengetahui lokasi kapal di hamparan samudra hanya dengan memanfaatkan kompas bearing dan benda-benda langit.

Juga, karena peta kala itu belum seakurat peta hari ini (thanks GPS!), para pedagang Belanda pun memanfaatkan betul catatan atau diari perjalanan para pelaut Portugal menjelajah samudra. Mereka, misalnya, akan langsung siaga terhadap kondisi sekitar karena di dalam diari pelaut Portugal mencatat "hati-hati dengan serpihan pulau-pulau kecil 30 menit selepas Tanjung Harapan."

Tapi toh mereka berhasil menaklukkan rintangan. Pada 1596, rombongan Cornelis de Houtman akhirnya tiba di Pulau Jawa, tepatnya di Banten. Pada Maret 1599, giliran empat kapal layar berbendera Belanda yang sukses bersandar di Maluku, yang tidak lain adalah Pulau Rempah-Rempah.



Fakta bahwa peta buatan Portugal sulit dipahami membuat Belanda berbenah. Tatkala Compagnie van Verre dan pelbagai perusahaan serupa di Belanda dilebur menjadi VOC, Belanda mendirikan Duytsche Mathematicque pada 1600 sebagai lembaga khusus tempat calon-calon pelaut membaca peta. Lembaga ini berada dalam naungan Universitas Leiden yang dipimpin oleh matematikawan kesohor Belanda Simon Stevin.

Perlahan Belanda menambang ilmu navigasi/geospasial/kartografi sendiri yang terbebas dari pengetahuan Portugal. Sebagaimana dicatat W. F. J. Morzer Bruyns dalam "Navigation on Dutch East India Company Ships Around the 1740s" (The Mariner's Mirror Vol. 78 1992), Belanda kemudian merilis "Instructie om in de maytij uyt Nederland na Iava te seylen" dan "Instructie om in de herfsttij uyt Nederlandt na Iava te seylen" pada 1626. Ini adalah peta khusus atau set instruksi navigasi ala Belanda untuk pelaut yang hendak menuju Indonesia.

Peta tersebut kelak digunakan oleh 1.769 kapal VOC untuk melakukan 4.723 pelayaran selama lebih dari 200 tahun menguasai wilayah yang mereka namakan Hindia Belanda.

Baca juga artikel terkait VOC atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin
(tirto.id - Humaniora)

Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino

Berita Menarik Lainnya

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya