Menlu Rusia tak Tinggalkan Ruangan Saat Dicecar Barat di Pertemuan G20
REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov disebut tak meninggalkan ruangan ketika sejumlah menlu negara Barat anggota G20 melayangkan kritik kepada Moskow. Kritik tersebut berkaitan dengan perang di Ukraina.
Hal itu diungkapkan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell. Dia mengatakan, sama seperti pertemuan di Bali tahun lalu, pertemuan tingkat menlu G20 di New Delhi, India, Kamis (2/3/2023) lalu, turut diwarnai dengan aksi kritik Barat terhadap Rusia. Dalam pertemuan di Bali, Lavrov memilih meninggalkan ruangan ketika negaranya dikritik. Namun pada pertemuan di New Delhi, Lavrov memilih tinggal di ruangan dan menyimak kritik-kritik yang diarahkan terhadap Moskow.
“Setidaknya kali ini dia (Lavrov) tinggal dan dia mendengarkan. Ini perbaikan kecil tapi penting,” ucap Josep Borrell saat berbicara dalam Raisina Dialogue yang juga digelar di New Delhi, Kamis.
Borrell mengatakan, dia menentang segala upaya untuk mendepak Rusia dari G20. “Saya memahami orang-orang dari apa yang disebut Global South yang mengatakan, ‘Dengar, kami tidak dapat menanggung konsekuensi dari perang ini’. Tapi lihat siapa yang bersalah untuk ini. Siapa yang menciptakan masalah?” ucapnya.
Pertemuan tingkat menlu G20 di New Delhi gagal menyetujui deklarasi bersama. Menurut Lavrov, hal itu disebabkan karena Barat berusaha membawa isu terkait Ukraina ke garis depan.
“Sayangnya, deklarasi atas nama semua menteri G20 tidak dapat disetujui. Rekan-rekan Barat kami, seperti yang mereka lakukan setahun yang lalu di bawah kepresidenan Indonesia, mencoba dengan segala cara, dengan cara apa pun, dengan menggunakan berbagai pernyataan retoris, untuk membawa kedepan situasi di sekitar Ukraina, yang mereka, tentu saja, hadirkan di bawah apa yang disebut agresi Rusia," kata Lavrov, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.
Lavrov menilai, tidak ada hal positif yang muncul dari tindakan Barat tersebut. “Diskusi, setidaknya dalam beberapa pidato oleh delegasi Barat, terutama negara-negara G7, telah bermuara pada pernyataan emosional. Dan semua ini, tentu saja, dilakukan dengan mengorbankan diskusi normal tentang masalah yang sebenarnya ada dalam agenda G20," ucapnya.
Konflik Ukraina tetap menjadi salah satu isu yang disorot di G20 di bawah keketuaan India. Tahun lalu, isu tersebut menjadi tantangan keketuaan Indonesia di G20. Kendati demikian, KTT di Bali pada 15-16 November berhasil menghasilkan Bali Leaders Declaration yang terdiri dari 52 paragraf. Selain perihal komitmen kerja sama ekonomi, transisi energi, dan ketahanan pangan, terdapat pula poin tentang konflik Rusia-Ukraina.
Pada poin atau paragraf ketiga, disebutkan bahwa sebagian besar anggota G20 mengecam perang di Ukraina yang menyebabkan penderitaan manusia, termasuk memicu inflasi, mendisrupsi rantai pasokan, mempertinggi ketidakamanan pangan dan energi, serta melambungkan risiko stabilitas keuangan.
Pada paragraf keempat dinyatakan pentingnya menjunjung hukum internasional dan sistem multilateral guna menjaga perdamaian serta stabilitas. Di dalamnya termasuk membela prinsip dan tujuan Piagam PBB, serta tunduk pada hukum humaniter internasional. Dinyatakan pula bahwa penggunaan senjata nuklir tidak dapat diterima. Kemudian disebutkan bahwa dialog dan diplomasi vital guna mengakhiri konflik.
Diadopsinya deklarasi tersebut meninggalkan citra positif bagi keketuaan Indonesia. Sebab sebelum KTT dihelat, mengingat perselisihan tajam yang melibatkan negara-negara besar di internal G20, pengadopsian deklarasi akhir disangsikan banyak pihak.
Komentar
Posting Komentar