Tergoda Ikut Pilkada 2024, 3 Kepala Daerah Terjerat Kasus Korupsi - Beritasatu

 

Tergoda Ikut Pilkada 2024, 3 Kepala Daerah Terjerat Kasus Korupsi

Selasa, 18 April 2023 | 05:59 WIB
Agnes Valentina / JAS
Wali Kota Bandung Yana Mulyana berada di dalam mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka pasca terjaring OTT di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (16/4/2023) dini hari.
Wali Kota Bandung Yana Mulyana berada di dalam mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka pasca terjaring OTT di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (16/4/2023) dini hari. (B Universe Photo / Joanito De Saojoao)

Jakarta, Beritasatu.com – Mendekati Pemilu dan Pilkada 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak 3 kali dalam kurung waktu kurang dari sebulan. OTT KPK berhasil meringkus Bupati Kapuas, Ben Brahim S Bahat, Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil, Bupati Kepulauan Meranti, M Adil dan Wali Kota Bandung, Yana Mulyana dalam kasus dugaan korupsi.

"Kalau kita lihat dari hasil temuan KPK dalam proses tersebut hampir semua berkaitan untuk urusan pilkada, kepala daerah yang berstatus menjadi calon pilkada dan tersangkut kasus OTT KPK” ungkap anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, dalam acara Obrolan Malam di BTV, Senin (17/4/2023).

Sebagai informasi, terdapat 3 kepala daerah yang terjerat kasus dugaan korupsi dan menggadaikan kantor bupati sebesar Rp 600 miliar guna kepentingan Pilkada 2024. Adapun kepala daerah yang berhasil diringkus yakni, Bupati Kapuas, Ben Brahim S Bahat, ditangkap 28 Maret 2023 dalam kasus meminta, menerima, dan memotong pembayaran pegawai negeri. Kedua,Bupati kepulauan Meranti, M Adil, ditangkap 6 April 2023 dalam kasus pemotongan anggaran, gratifikasi travel umrah dan suap pemeriksaan keuangan. Ketiga,Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, ditangkap 14 April 2023 dalam kasus suap, pengadaan CCTV dan jaringan internet tahun anggaran 2022-2023.

Untuk mendapatkan tiket menjadi kandidat dalam pencalonan membutuhkan adanya dukungan suara, kursi dan rekomendasi dari partai politik. Sehingga, dia menuturkan kepentingan tersebut yang sering kali menjadi alasan dan menimbulkan tindakan suap untuk membeli suara.

“Seharusnya kandidat dan partai politik bisa bekerja sama untuk memenangkan (dengan cara yang benar),” tuturnya

“Tidak ada angka-angka (dana kampanye) sebanyak Rp 25 M, Rp 50 M, Rp 100 M yang muncul di laporan dana kampanye. Berdasarkan riset yang dilakukan, dana untuk kampanye bergerak di ruang-ruang yang ilegal terutama untuk mendapatkan tiket pencalonan,” tambahnya.

Dia memaparkan untuk mengikuti pilkada, kepala daerah harus memenuhi persyaratan 20% kursi DPRD atau 25% suara sah. Sementara itu, kalau menjadi calon independen harus memenuhi syarat 6,5-10% suara.

“Itu membutuhkan logistik yang tidak murah, artinya mereka memilih jalur partai atau jalur independen juga tidak gratis,” tandasnya.

“Dana yang digunakan untuk jual beli suara tentu tidak ada laporannya, nah karena mendapatkan tiket kemenangan tidak berbasis ideologis. Selain suara, komitmen kepartaian juga butuh uang, semua bergerak karena uang karena tidak ada idealitas bersama untuk memenangkan,” jelasnya kembali.

Oleh karenanya, dia menekankan perlu adanya pengawasan suara yang dilakukan oleh penyelenggaraan pemilu atau pemerintah terhadap para kandidat yang mengikuti Pemilu 2024 mendatang.

Hal tersebut guna mengawasi dan menindak adanya kegiatan suap, baik itu suap suara, suap hakim dan suap terhadap penyelenggaraan pemilu. Ia menegaskan itu adalah lingkaran setan yang terus berulang dan harus segera diputus demi kepentingan masyarakat Indonesia.

Saksikan live streaming program-program BTV di sini

Bagikan

Baca Juga

Komentar