Pemilu Taiwan, Antara Pengaruh China-AS dan Pandangan Pemilih Muda - detik

 Pemilu Taiwan, Antara Pengaruh China-AS dan Pandangan Pemilih Muda

Deutsche Welle (DW)

Jakarta -

Taiwan akan melaksanakan pemilihan presiden dan parlemen pada hari Sabtu, 13 Januari, yang akan diamati dengan cermat oleh Cina dan Amerika Serikat. Beijing memandang pulau Taiwan, yang memiliki pemerintahan sendiri lewat pemilu demokratis, sebagai bagian dari wilayahnya.

Sebaliknya, AS adalah mitra strategis Taiwan yang paling penting. Sekalipun Washington, seperti banyak negara lain termasuk Indonesia, secara resmi mempertahankan kebijakan Satu Cina, yang mengakui bahwa Republik Rakyat Cina adalah satu-satunya pemerintahan yang sah.

Pada saat yang sama, AS secara informal membantu Taipei dan memberikan bantuan militer serta bantuan lainnya ke pulau tersebut sesuai dengan Undang-Undang Taiwan Relations Act (Undang-Undang Hubungan Taiwan) dari tahun 1979. Status Taiwan memang sering menjadi sumber perselisihan antara Beijing dan Washington.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mayoritas pemilih ingin pertahankan status quo

Partai yang bersaing dalam pemilihan presiden dan legislatif di Taiwan adalah Partai Progresif Demokratik DPP yang berkuasa, partai oposisi utama Kuomintang (KMT), dan Partai Rakyat Taiwan TPP yang relatif baru dan didirikan pada 2019.

Tiga orang mencalonkan diri sebagai presiden: Wakil Presiden saat ini Lai Ching-te dari DPP, Wali Kota New Taipei Hou Yu-ih dari KMT, dan mantan Wali Kota Taipei Ko Wen-je dari TPP. Jajak pendapat terakhir menempatkan Lai Ching-te di posisi terdepan.

Meskipun ada perbedaan pandangan di antara ketiga partai politik mengenai kebijakan terhadap Cina, ada preferensi yang "sangat kuat" untuk mempertahankan status quo, kata Chong Ja Ian, profesor ilmu politik di Universitas Nasional Singapura. "Pemilih Taiwan akan menghukum partai politik mana pun yang menyimpang dari status quo," tambahnya, mengutip hasil pemilu sebelumnya.

DPP mendukung pemisahan Taiwan dari Cina dan menolak klaim kedaulatan Beijing, dengan mengatakan hanya warga Taiwan yang dapat memutuskan masa depan mereka. Partai tersebut juga ingin mengurangi ketergantungan ekonomi Taiwan dari Beijing dan memperdalam hubungan dengan negara demokrasi lainnya.

Ikut Cina atau AS?

KMT lebih menyukai hubungan dekat dan dialog dengan Cina, namun membantah keras sikap mereka pro-Beijing. Partai tersebut menggambarkan pemilu mendatang sebagai pilihan "antara perdamaian dan perang" – sebuah narasi yang juga diadopsi oleh Beijing.

Dalam beberapa tahun terakhir, Presiden Cina Xi Jinping telah berulang kali berjanji akan "menyatukan" Taiwan dengan Cina daratan, bahkan dengan menggunakan kekerasan jika diperlukan. Militer Cina belakangan juga meningkatkan aktivitas di sekitar negara pulau itu, dan jet tempur serta kapal perang Cina kini secara teratur beroperasi di selat selebar sekitar 180 kilometer, yang memisahkan Taiwan dan daratan Cina.

Menyoroti meningkatnya ketegangan, KMT berpendapat, jika DPP ingin mendapatkan masa jabatan ketiga berturut-turut, hal ini kemungkinan akan menyebabkan konflik militer dengan Beijing. Kandidat presiden KMT, Hou, berjanji untuk menjamin perdamaian lintas Selat dan memfasilitasi pertukaran dengan Beijing berdasarkan "kesetaraan dan martabat" untuk mengurangi risiko konflik.

Chong Ja Ian mengatakan ada "skeptisisme tingkat tinggi" di dalam KMT atas komitmen AS terhadap pertahanan Taiwan. Namun Lai Ching-te dari DPP menolak narasi "perang dan perdamaian" dan malah menggambarkan pemungutan suara tersebut sebagai pilihan "antara demokrasi dan otokrasi." Pada tahun 2017, Lai sempat memicu kemarahan Beijing dengan menyatakan bahwa dia adalah "pekerja politik untuk kemerdekaan Taiwan."

Pemilih muda bosan retorika konflik

Perdebatan di kalangan pemilih muda mengenai hubungan Taiwan-Cina sekarang tidak lagi sepanas di masa-masa lalu. Sarah Liu, dosen senior bidang gender dan politik di Universitas Edinburgh, mengatakan kepada DW bahwa "pemilih muda mungkin menganggap isu lintas Selat sebagai hal yang kurang penting" dalam pemilu ini. Karena mereka "memiliki hal lain yang perlu dikhawatirkan selain ancaman dari Cina."

"Generasi muda Taiwan sangat prihatin dengan kebutuhan domestik mereka," kata Sarah Liu, seraya menyebutkan masalah perumahan, inflasi, pasokan listrik dan air sebagai fokusnya. Namun hal ini tidak berarti bahwa para pemilih muda cenderung mengabaikan ancaman keamanan dari Beijing, tambah Sarah Liu.

Chong Ja Ian mengatakan lebih lanjut, Cina akan terus menekan Taiwan, apapun hasil pemilunya. "Perbedaan besar di antara ketiga pihak adalah apakah mereka benar-benar yakin, ada kemungkinan untuk mendapatkan hasil positif dalam negosiasi dengan Beijing," jelas profesor ilmu politik di Universitas Nasional Singapura itu. "Dan… apakah Beijing bersedia menepati janji atau komitmen apa pun yang dibuatnya."

(hp/as)

(ita/ita)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya