Arena Transaksi Jelang Pemilu, Janji Palsu Ditukar Rupiah
Minggu, 11 Februari 2024 - 12:13 WIB
Ilustrasi Politik Uang. (Desain:Inilah.com/Bece)
“Apa bila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya"
-Filsuf Perancis, Voltaire-
Tok, Majelis Hakim Pengadilan Nunukan, Kalimantan Utara, Raden Narendra Mohdi Iswoyokusumo, baru saja mengetukan palu sebanyak tiga kali, tanda jajaran hakim telah bersepakat untuk menjatuhkan vonis bersalah kepada calon legislatif DPRD Dapil 2 Nunukan Selatan, Siti Rosita Binti Ahmad (22).
Politisi partai Demokrat itu, dijatuhi hukuman 1,5 bulan penjara dan denda Rp15 juta akibat terbukti bersalah dalam kasus tindak pidana money politic atau politik uang.
Modusnya, Siti melakukan praktik politik uang dengan cara membungkus kampanye dengan sebuah turnamen voli berhadiah.
Perkara yang mendera Siti Rosita boleh jadi menjadi momok yang harus dihadapi setiap saat menjelang pemilu. Setiap kali pesta demokrasi dimulai, para calon kepala daerah atau anggota legislatif mengumbar janji manis kepada masyarakat, tak jarang sebagian dari mereka menebar amplop berisikan uang atau bingkisan sembako.
Pada kenyataanya, praktik semacam sudah sedemikian lama berperan, sejak abad ke-5 sebelum Masehi (SM). Praktik ini, sudah ada sejak warga Yunani kuno di Athena sudah mengenal pemilihan umum (pemilu) dengan sistem demokrasi. Untuk membiaya pesta demokrasi mereka memakai uang.
Sementara di tanah air, praktik curang ini sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Kemunculan itu bermula ketika pemerintahan kolonial menerapkan sistem demokrasi dalam pemilihan kepala desa (pilkades), melalui terbitnya undang-undang (UU) Indische Staatsregering atau peraturan dasar mengenai pemerintahan jajahan di Hindia Belanda.
Terkesan demokratis, namun pada kenyataanya, cara ini dilakukan Belanda untuk melakukan intervensi terhadap institusi desa. Diam-diam Belanda memiliki kandidat untuk dicalonan sebagai kepala desa. Sehingga jika terpilih menduduki jabatan lurah, pihak kolonial bebas memerintah untuk menyuruh warga melakukan kerja paksa hingga menarik pajak.
”Dari situ muncullah pemilihan, dari yang seharusnya dilakukan secara rasional berubah menjadi transaksional,” ujar Sejarawan Mojokerto, Ayuhanafiq, dikutip dari situs media nasional.
Budaya Permisif
Bagaimana dengan situasi saat ini? Sebuah survei yang dilakukan oleh agensi public relations (PR), Praxis Indonesia, menunjukan adanya sikap permisif alias ‘mengizinkan’ praktik politik uang.
Dari survei yang dilakukan kepada 1.001 mahasiswa berusia 16-25 tahun yang tersebar di 34 provinsi pada periode 1-8 Januari 2024, hanya ada 10,99 persen saja yang bersikap tegas dengan cara menolak. Lainnya menerima dengan sejumlah catatan. Salah satunya sikap pragmatis menerima tapi tidak memilih, atau dikenal luas dengan slogan "ambil uangnya, jangan pilih orangnya".
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro ketika berbincang dengan Inilah.com, mengatakan praktik politik uang di Indonesia telah menjadi sebuah komoditas di tengah masyarakat. Layaknya sebuah pasar, utamanya saat pemilu, praktik semacam ini senantiasa kebanjiran konsumen.
Pemilih non-rasional dan pendidikan rendah menjadi salah satu penyebabnya. Para pemilik suara ini, tidak lagi fokus pada visi-misi, program kerja, rekam jejak kandidat dan lain sebagainya. Mereka, dikatakan Agung, lebih tertarik menunggu momentum politik uang saat “serangan fajar” jelang hari pencoblosan.
Advertisement
“Sehingga serangan fajar ada ruangnya,” kata Agung.
Menilik dari pernyataan Agung, rasa-rasanya bisa dikaitkan juga dengan hasil survei yang dikeluarkan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada November 2022 soal kedekatakn partai politik dengan masyarakat. Pada survey itu, hanya 20 persen responden yang merasa dekat dengan parpol. Sedangkan, 73 persen lainnya mengaku sebaliknya.
Realitas itu menjadi kenyataan betapa parpol sebagai alat demokrasi untuk memilih pemimpin, demikian berjarak cukup jauh dengan masyarakat. Saking berjarak, partai atau kandidat dalam pemilu berupaya “mendekatkan diri”, selain secara resmi melalui kampanye, juga melalui politik uang.
“Ada budaya permisif. Saya lihat sudah menjadi, dalam tanda petik, tradisi,” kata Agung.
Agung menilai, daerah pedesaan dan pemukiman padat di perkotaan menjadi lokasi rawan terjadinya praktik haram ini.
Berdasarkan dalam hasil analisa isu strategis politik uang dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang dikeluarkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), mencatat, dari 34 provinsi yang dijadikan unit analisis, lima diantaranya berkategori rawan terjadi praktik politik uang di Pemilu 2024.
Pertama adalah Maluku Utara, disusul Lampung , Jawa Barat, Banten dan Sulawesi Utara.
Sementara berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi politik uang. Sembilan provinsi di bawah Papua Pegunungan adalah Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara.
Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota, daerah paling rawan adalah Kabupaten Jayawijaya, Papua, menduduki urutan pertama. Lalu Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, dan Kabupaten Lampung Tengah, Lampung.
Pileg Menjadi Titik Paling Rawan Politik Uang
Pemilihan Legislatif, dinilai Agung menjadi titik paling rawan terjadinya praktik politik uang.”Selama ini kita melihat pilpres, padahal yang menjadi titik tolaknya yang paling penting sebenarnya pileg,” kata Agung.
Hal ini, menurut Agung, didasari bahwa para calon anggota legislatif mewakili aspirasi di tiap daerah pemilihan. Sementara di pemilihan presiden, para konsituen sudah memiliki preferensi dalam menentukan pilihan, terlebih dengan kompetisi Pilpres 2024 saat ini, yang dinilai sangat kompetitif.
“Tanpa disuruh nyoblos (Pilpres) pun mereka akan mencoblos,” kata Agung.
Soal modus, berkaca dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, praktik politik uang terbagi dalam beberapa bentuk. Pertama, memberikan secara langsung, bisa berupa uang, voucher maupun uang digital.
Kedua, modus memberikan janji, seperti imbalan uang, maupun proyek atau pekerjaan jika nanti terpilih.
Hingga pemberian barang, seperti perlengkapan ibadah, bahan bangunan, hadiah lomba, hingga memanipulasi bantuan sosial (bansos) yang dikucurkan pemerintah. Penyalahgunaan itu seperti pembagian sembako kemudian disertai foto anggota legislatif, parpol dan sebagainya.
Terkhusus bansos, ini yang kemudian menjadi catatan khusus bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi antirasuah tak sepakat bila bansos berupa barang, dengan pertimbangan rawan terjadi manipulasi menjadi alat politik menggaet konsituen.
"Sesuai dengan rekomendasi KPK, bahwa bansos harus disalurkan berdasarkan data yang valid dan mutakhir, Bansos bukan berupa barang tapi berupa uang dan uangnya disalurkan melalui kantor pos atau bank. Hal bertujuan agar bansos efektif mencapai tujuan, tepat sasaran dan efisien dalam proses distribusinya," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (7/2/2024).
Mother Of Corruption
Secara logika empiris (pendekatan pada fakta), siapa saja butuh uang, termasuk para pemilik suara tentunya. Lewat jarak yang demikian jauh dengan alat demokrasi (baca:Parpol), menjadi realistis masyarakat kemudian ‘melegalkan’ praktik tersebut.
Ketika masyarakat tidak butuh uang, penulis sastra peraih Nobel Sastra (956), Albert Camus, dengan pedih mencibir begini: "Salah satu jenis keangkuhan spiritual adalah saat orang berpikir bahwa mereka bisa bahagia tanpa uang”. Lebih dalam, seorang filsuf berkebangsaan Perancis, Voltaire (1694-1778), pernah berbicara seperti ini ”Apa bila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya".
Dari situ, teramat jarang ada masyarakat menerima hasil politik uang, yang berupa uang pula, lantas ujug-ujug mereka datang ke instansi berwenang mengaku telah menerima. Hal ini sangat tipis bisa terjadi. Nyaris, mustahil.
Yang menjadi masalah, praktik semacam ini akan menciptakan adanya korupsi politik.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief dalam sebuah tulisan di website resmi KPK, secara terang menyebut politik uang sebagai "mother of corruption" atau induknya korupsi. Praktik semacam ini, telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara, para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis.
"Dari kajian kami, keberhasilan dalam pemilu atau pilkada 95,5 persen dipengaruhi kekuatan uang, sebagian besar juga untuk membiayai mahar politik. Kontestan harus mengeluarkan Rp5-15 miliar per orang untuk ini," ujar Amir, dikutip dari ACLC (Pusat studi antikorupsi KPK).
Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi.
"Jadi ongkos politik yang tinggi itulah yang memicu orang untuk melakukan korupsi. Memicu orang untuk mengumpulkan sumber-sumber dana secara ilegal," kata Amir Arief.
Senada Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Zaenur Rahman menilai menjadikan politik uang sebagai budaya artinya melanggengkan korupsi di Indonesia.“ Menerima politik uang juga artinya merusak demokrasi,” kata Zaenur kepada Inilah.com.
(Nebby/Rizki)
Komentar
Posting Komentar