PBB desak junta Myanmar hentikan kekerasan di tiga tahun kudeta - ANTARA News

 

PBB desak junta Myanmar hentikan kekerasan di tiga tahun kudeta

2 Februari 2024 08:27 WIB
PBB desak junta Myanmar hentikan kekerasan di tiga tahun kudeta
Arsip foto - Muslim Rohingya, yang menyelamatkan diri dari penindasan dalam operasi militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, menunggu tentara Benggala datang dan membawa mereka ke kamp pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh, pada Desember 2017. ANTARA/Anadolu/Firat Yurdakul/aa.
Ankara (ANTARA) - Sejumlah negara dan Perserikatan Bangsa-bangsa mendesak rezim militer Myanmar untuk mengakhiri "kampanye kekerasan", saat peringatan tiga tahun kudeta di negara Asia Tenggara itu pada Kamis.

Untuk memperkuat kekuasaannya, rezim tersebut memperpanjang keadaan darurat selama enam bulan berikutnya.

Dalam pernyataan bersama, Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Inggris, Korea Selatan dan Swiss mengutuk kekerasan terhadap warga sipil di Myanmar.

"Di bawah rezim militer, kekerasan terhadap warga sipil meningkat, dengan ribuan dipenjarakan, disiksa dan dibunuh. Serangan udara, pengeboman, dan pembakaran digunakan untuk menghancurkan infrastruktur sipil, termasuk rumah-rumah, sekolah-sekolah, fasilitas kesehatan dan tempat ibadah." sebut pernyataan itu.

"Diskriminasi sistematis terhadap masyarakat sipil kelompok agama dan etnis, termasuk Rohingya, tersebar luas," lanjut pernyataan itu.

Mereka mendesak diakhiri kekerasan dan pembebasan tahanan politik yang ditahan "secara tidak adil" dan membolehkan akses kemanusiaan penuhi selain menciptakan ruang dialog inklusif dengan seluruh pemangku kepentingan.

"Tiga tahun berjalan sejak kudeta militer, kami tetap bersama rakyat Myanmar dan keinginan mereka untuk demokrasi yang inklusif dan sejati di Myanmar,” kata pernyataan tersebut.

Pada 1 Februari 2021, junta militer Myanmar menggulingkan sekutu mereka sebelumnya pemerintahan Aung San Suu Kyi setelah partai Liga Nasional untuk Demokrasi memenangi  pemilu pada November 2020.

Sekjen PBB Antonio Guterres juga menyuarakan keprihatinan mendalam atas memburuknya situasi di negara Asia Tenggara itu dan mendesak untuk mengembalikan pemerintahan sipil.

Guterres mengutuk segala bentuk kekerasan dan menyerukan perlindungan bagi warga sipil dan penghentian permusuhan.

“Solusi inklusif terhadap krisis ini memerlukan kondisi yang memungkinkan rakyat Myanmar untuk menggunakan hak asasi mereka secara bebas dan damai. Kampanye kekerasan militer yang menargetkan warga sipil dan penindasan politik harus diakhiri, dan mereka yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Guterres.

Sementara itu. Gerakan Pembangkangan Sipil, sebuah kelompok  yang muncul setelah kudeta, mengunggah foto di X pada Kamis, yang menunjukkan jalan-jalan kosong dan toko-toko tutup di beberapa bagian negara.

“Rakyat Myanmar setia pada revolusi. Kami tidak pernah menyerah. Masyarakat internasional, mohon dukung aktivis sipil,” kata gerakan tersebut di X.


Sanksi

Australia pada Kamis menerapkan sanksi tambahan yang ditargetkan terhadap lima entitas yang terlibat langsung dengan rezim militer Myanmar.

Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong mengatakan sanksi ini "diterapkan untuk membatasi" akses rezim atas pendanaan dan material yang memungkinkan mereka untuk terus melakukan kekejaman terhadap rakyatnya sendiri.”

Namun, laporan terbaru oleh kelompok Keadilan untuk Myanmar, menuduh perusahaan Australia, yang terus beroperasi di sektor tambang Myanmar, "menyediakan junta dukungan dan legitimasi, dan membantu memastikan sektor pertambangan terbuka untuk bisnis."

Selain Australia, Departemen Keuangan AS pada Rabu juga memberikan sanksi kepada dua entitas yang "terkait erat" dengan rezim militer di Myanmar, serta empat kroninya.

Setidaknya 4.474 warga sipil terbunuh dan hampir 20.000 orang ditahan karena alasan politik sejak kudeta 1 Februari 2021, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok pemantau lokal. PBB mengatakan lebih dari 2 juta orang juga telah mengungsi akibat kekerasan tersebut.

Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima junta, mengatakan pihaknya tidak dapat mencabut keadaan darurat karena pihaknya berurusan dengan kelompok etnis bersenjata di seluruh negeri.

Perpanjangan keadaan darurat juga menunda pemilu yang dijanjikan setelah kudeta.

Pihak militer masih terguncang akibat serangan terkoordinasi yang dilancarkan pada Oktober tahun lalu oleh tiga kelompok pemberontak etnis minoritas di wilayah utara negara tersebut.

 Kelompok-kelompok tersebut menyerang pasukan junta, yang memerintah negara mayoritas beragama Buddha itu, dan merebut banyak kota dan pos-pos junta.

Sumber: Anadolu
Baca juga: Status darurat Myanmar diperpanjang enam bulan
Baca juga: Troika ASEAN dan ikhtiar Laos teruskan upaya damaikan Myanmar
Baca juga: ASEAN dukung koridor kemanusiaan Thailand untuk pengungsi Myanmar


 

Penerjemah: Yoanita Hastryka Djohan
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024

Tags:

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya