Larangan Jaksa Agung dari Pengurus Partai Cegah Potensi Politisasi Kasus
Gedung Kejaksaan Agung (Foto: Twitter @KejaksaanRI)
Direktur Eksekutif Centre of Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang jabatan jaksa agung diisi oleh pengurus partai politik (parpol) sudah tepat.
Menurut Uchok, putusan ini dapat mencegah Jaksa Agung bersikap politis dalam memutuskan suatu perkara hukum.
“Sudah tepat itu. Sekali pun ditunjuk presiden, memang sebaiknya jabatan jaksa agung diisi nonpartisan partai, biar bisa profesional dan mencegah politisasi kasus,” ujar Uchok, melalui pesan singkat, Jumat (1/3/2024).
Uchok lantas membandingkan kinerja Kejaksaan Agung yang saat ini dipimpin ST Burhanuddin dengan jaksa agung yang diisi kader parpol. Menurut Uchok, kejaksaan saat ini cukup progresif dalam mengusut kasus korupsi dan cenderung tidak pilih terhadap politikus.
“Kalau yang sebelumnya, kan, sempat berpolemik karena ada kasus yang terkesan dipaksakan. Bahkan, konflik antarelite partai dibawa ke ranah hukum,” kata Uchok Menjelaskan.
MK pada sidang pleno Kamis (29/2) mengabulkan sebagian gugatan uji materi syarat pengangkatan jaksa agung, yakni Pasal 20 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Gugatan itu diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai jaksa.
Baca Juga:
Amar putusan MK mengubah norma pasal tersebut dengan menambahkan syarat lain, yakni yang diangkat menjadi jaksa agung bukan merupakan pengurus parpol kecuali telah berhenti sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat.
Dengan begitu, pasal tersebut selengkapnya berbunyi “Untuk dapat diangkat menjadi jaksa agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai jaksa agung”.
Komentar
Posting Komentar