Potensi Kenaikan Harga BBM Berdampak pada Masyarakat Kelas Menengah
Jakarta, Beritasatu.com - Potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menyusul bertambahnya pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) di DKI Jakarta menjadi 10% dari sebelumnya 5%, berdampak pada masyarakat kelas menengah. Untuk itu, pemerintah perlu mendesain kebijakan yang pro pada kelas menengah.
"Masyarakat yang berkaitan langsung dengan BBM nonsubsidi umumnya adalah masyarakat golongan menengah dan menengah atas," kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria saat dihubungi Beritasatu.com, Kamis (29/2/2024).
Sementara harga BBM nonsubsidi kata dia, selalu dikoreksi naik atau turun pada tanggal 1 dan 15 setiap bulan berjalan. "Kenaikan harga tersebut selalu terkait dengan harga minyak dunia," kata dia.
Adapun masyarakat golongan menengah bawah yang mengonsumsi Pertalite nyaris tidak berdampak karena harga karena Pertalite mendapat kompensasi (subsidi) dari pemerintah.
Dia menilai, secara umum kenaikan harga pangan yang terjadi menjelang Ramadan dan Lebaran adalah hal yang umum terjadi setiap tahun. "Saya yakin pemerintah sudah paham cara menangani hal ini," kata dia.
Dia menyarankan pemerintah menghapus pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) bahan pokok sebagai bentuk insentif pada kelompok masyarakat kelas menengah di samping tetap memberikan bantuan sosial (bansos) pada warga miskin.
"Terhadap harga bahan pokok yang mengalami kenaikan signifikan, pemerintah bisa memberikan insentif yang sifatnya untuk jangka waktu tertentu, misalnya menghapus pungutan PPN atas bahan pokok," kata dia.
Mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri mengatakan pemerintah perlu memerhatikan nasib kelas menengah. Kelas menengah tidak punya banyak pilihan. Instrumen perlindungan sosial juga tidak memadai. Mereka tidak berhak akan bantuan sosial karena bukan termasuk kelompok miskin. "Mereka belum tentu memiliki akses untuk beasiswa Bidik Misi karena tak memiliki surat keterangan tidak mampu (SKTM)," kata pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) ini.
Dia memberikan contoh di Chile. Kinerja ekonomi Chile amat mengesankan. Pendapatan per kapitanya tertinggi di Amerika Latin, pertumbuhan ekonominya tercepat di Amerika Latin, dan tingkat kemiskinan menurun dari 53% (1987) menjadi 6% (2017), lebih baik dibandingkan Indonesia. Chile memiliki Indeks Pembangunan Manusia terbaik di Amerika Latin.
Ironisnya, pada Oktober 2019 terjadi gejolak sosial yang nyaris menimbulkan revolusi. "Ekonom Sebastian Edwards menyebutnya ”The Chilean Paradox”. Mengapa? Salah satu penjelasannya adalah terabaikannya kelas menengah," kata Chatib.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News
Ikuti terus berita terhangat dari Beritasatu.com via whatsapp
Komentar
Posting Komentar