Kriminolog UI: Bunuh Diri Sekeluarga Jadi Fenomena Baru

Jakarta, Beritasatu.com - Pakar kriminologi dari Universitas Indonesia (UI), Haniva Hasna menilai bunuh diri sekeluarga menjadi sebuah fenomena baru untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang paling singkat. Namun, ia meminta masyarakat tidak meniru hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Haniva menanggapi empat orang dalam sekeluarga tewas setelah melompat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan Tower Topas Penjaringan, Jakarta Utara, pada Sabtu (9/3/2024) sore.
Keempat jenazah sekeluarga tersebut ialah sang ayah Eddy Anwar (50 tahun), sang ibu Ang Iveliana Luccyana (52), serta kedua anaknya, Jennifer Lauren (15) dan John William Anwar (13).
Menurutnya, bunuh diri atau suicide obsession (kecenderungan ingin bunuh diri) masyarakat modern semakin meningkat, bahkan bukan hanya kecenderungan keinginan, tetapi benar-benar melakukannya.
Bunuh diri menjadi salah satu cara menyelesaikan permasalahan hidup yang paling singkat. "Namun perilaku bunuh diri ini menjadi fenomena baru ketika dilakukan dengan cara baru pula. Misalnya, dilakukan di tempat umum bahkan dilakukan secara live atau langsung," katanya kepada Beritasatu.com, Senin (11/3/2024).
Artinya, ada keinginan untuk segera mendapat pertolongan pada jenazah tersebut, karena sebelumnya, seseorang melakukan bunuh diri di ruang tertutup atau jauh dari keramaian.
Haniva menjelaskan, pada dasarnya setiap orang memiliki insting untuk bertahan hidup di dunia ini. Hanya saja tergantung pada apa yang dipercaya, sehingga tubuh dan pikirannya pun akan mengikuti.
"Jika ia percaya bahwa ia tak akan sanggup hidup, maka tubuhnya pun akan ikut merespons dengan sikap apatis, layaknya bom waktu yang menghitung mundur menuju kematian," ungkap Haniva.
Sebaliknya bagi mereka yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya, mereka berpikir masalah dan kesakitan mereka akan hilang dengan mencoba bunuh diri.
"Untuk alasan yang tidak kita pahami sepenuhnya, beberapa orang mengalami keputusasaan dan rasa sakit yang begitu dalam, sehingga mereka percaya lebih baik mati saja," paparnya.
Menjadi rumit ketika yang mengalami keputusasaan ini adalah kepala keluarga, karena ada penghayatan peran sebagai pemimpin dan penyelamat anggota keluarganya. Ketika ada masalah besar, yang dapat menjadi “warisan" masalah untuk anaknya, maka jalan pintas untuk mengakhiri hidup bersama menjadi pilihan yang tidak masuk akal bagi masyarakat.
Haniva juga memaparkan sejumlah sebab orang tua rela membunuh anaknya. Namun pada intinya, lanjut Haniva, pasti ada masalah berat yang tengah dialami oleh keluarga hingga melakukan aksi bunuh diri bersama atau sekeluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak.
“Jadi apa pun itu, yang jelas ada masalah berat yang sedang dialami oleh keluarga tersebut hingga melakukan aksi bunuh diri bersama,” pungkasnya dia.
Sebelumnya, kriminolog Adrianus Meliala sependapat dengan Kapolsek Metro Penjaringan, Kompol Agus Ady Wijaya yang mengungkapkan alasan dugaan empat orang sekeluarga di Apartemen Teluk Intan Penjaringan tewas karena bunuh diri.
Polisi menduga sekeluarga bunuh diri karena telah melakukan persiapan sebelumnya untuk tindakan nekat tersebut. Apalagi persiapan itu terlihat dari gerak-gerik di CCTV sebelum melakukan aksi bunuh diri.
"Tidak ada orang yang bahagia mau bunuh diri. Pelakunya pasti orang yang punya masalah berat, minimal merasa bahwa masalahnya berat," kata Adrianus kepada Beritasatu.com, Minggu (10/3/2024).
Menurut Adrianus, jika pelakunya satu keluarga maka pertanyaannya, apakah ada satu masalah berat yang ditanggung bersama-sama? Atau masing-masing punya masalah berat versi masing-masing yang lalu semua sama-sama sepakat bahwa solusinya adalah bunuh diri bersama.
"Saya lebih percaya bahwa mereka hanya punya satu masalah saja, tetapi menimpa semua, sehingga semua sepakat solusinya adalah bunuh diri," ungkap sang kriminolog.
"Perhatikan bahwa itu terjadi di keluarga kelas menengah, yang asumsinya lebih baik pendidikannya, asupan informasinya, kemampuan ekonomi dan akses sosial politiknya. Toh semua itu tidak cukup sebagai pemberi solusi, maka bunuh diri dianggap yang paling oke menurut mereka," papar dia.
Bayangkan, lanjut Adrianus, jika masalah serupa menimpa keluarga miskin yang tidak seberuntung keluarga menengah. Mestinya, mereka akan lebih rentan untuk bunuh diri.
Namun, faktanya angka bunuh diri di kalangan bawah tidak tinggi. Mungkin mereka memiliki resiliensi atau ketahanan yang tinggi.
Hal ini yang tidak dimiliki kelas menengah. Secara gaya hidup saja kelas menengah terlihat hebat, padahal sejatinya punya banyak masalah.
0 Komentar